Cerita Diri: Melampaui Batas di Tahun 2018

by - 22:48

Instagram: @yogantarawa


Setelah badai di tahun 2017, Tuhan ternyata sudah menyiapkan banyak hal di tahun 2018. Saya tidak menyangka gantinya akan sangat membahagiakan. Mungkin apa yang akan saya ceritakan merupakan hal kecil bagi kalian, tapi cerita ini berkesan sangat dalam bagi saya.

Cerita ini bukan soal memamerkan capaian saya, karena sebenarnya disini saya ingin berbagi apa yang sudah saya pelajari dari cerita di tahun 2018. Semoga bermanfaat.

Jika boleh saya tarik garis besarnya, apa yang sudah saya lakukan di tahun 2018 merupakan lompatan-lompatan besar yang pernah saya buat. Lompatan besar apakah itu?

Di awal tahun 2018 saya tekadkan diri untuk segara bangkit. Pertama, saya harus segera menyelesaikan kewajiban saya “SKRIPSI” dan menuntaskan keseluruhan apa yang sudah orang tua saya perjuangkan yaitu “Kuliah”. Kedua, saya harus segera melakukan kegiatan-kegiatan yang produktif serta positif untuk menemani saya mengerjakan skripsi.

Saya akan menceritakan yang kedua dulu, menemukan kegiatan-kegiatan positif dan produktif.
Hal yang bisa saya lakukan selama kurang lebih 6 bulan untuk menemani saya mengerjakan skripsi, saya pikir adalah lomba/kompetisi. Di tahun 2017 akhir saya juga sudah mengikuti lomba, hanya saja selalu berakhir dengan kekalahan. Meski begitu kenapa ingin mencoba lagi. Kenapa ingin mencoba lagi? Padahal kalah terus.

Saya ingin membuktikan bahwa saya bisa. Saya selalu niatkan lomba yang saya laukan untuk kebermanfaatan diri sendiri dan orang banyak. Jadi, kalah menang sebenarnya bukan soal. Tapi lebih kepada bagaimana saya mau belajar dari kesalahan dan melatih diri untuk berkembang dan bermanfaat.

Sebelumnya saya ingin ceritakan bahwa saya awalnya tipe orang yang sangat membenci lomba sama seperti saya membenci BEM waktu itu. Ternyata kebencian saya hanya berdasarkan omongan orang dan asumsi-asumsi. Pada kenyataannya ketika langsung terjun, pikiran tersebut berubah. Dulu ketika belum mengikuti BEM, pikiran saya selalu negatif. Tapi setelah mengikuti BEM, saya tahu kenapa banyak orang membenci BEM tapi juga saya memahami kenapa bisa begitu. Di akhir, saya berkesimpulan BEM tidak seburuk itu. 

Begitupun dengan lomba/kompetisi, saya dulu selalu berpikir bahwa lomba/kompetisi hanya akan membuat orang pamer, mengejar prestige dan hasil lomba pun tidak banyak membuat manfaat.  Setelah saya mengikuti lomba ternyata tidak seburuk itu. Saya pikir lomba mampu mengasah kemampuan kita untuk menemukan masalah dan menyelesaikannya secara bersama-sama. Hasil dari lomba bisa kita buat referensi untuk diri sendiri dan orang lain, agar hasil lomba tersebut terwujud nyata (entah dalam waktu dekat atau jangka panjang). Intinya dari lomba kita punya stock of ideas yang cukup banyak. Kita juga bisa berkenalan dengan macam karakter dan pemikiran orang lain. Banyak manfaat sebenarnya, jika kita mampu mengambil sisi positifnya.

Kembali soal cerita lomba di awal tahun sampai pertengahan,

Saya bersama teman-teman akhirnya menggarap banyak lomba untuk diikuti, dan beberapa lomba pada akhirnya tembus atau masuk babak penyisihan. Setelah banyak kekalahan kami alami, akhirnya saya dan teman-teman satu tim bisa memenangkan 3 lomba di awal sampai pertengahan tahun 2018. Pertama, juara 1 lomba Short Movie tentang Multikulturalisme. Kedua, juara 3 Lomba debat. Ketiga, juara 3 lomba kebijakan publik.  Perasaan saya sangat senang dan bangga waktu itu, apalagi saat mengabari orang tua bahwa saya bisa. TAPI, Sebenarnya cukup aneh waktu itu, saya senang saat memenangkan itu sekaligus sedih melihat peserta yang lain. Kenapa? Karena saya juga pernah mengalami kondisi dimana saya dan teman-teman harus kalah. Dan itu sangat tidak mengenakan. Pada akhirnya saya berusaha mengurangi euphoria kemenangan waktu itu. Sejak saat itu saya merasa menang bukanlah hal yang perlu dibanggakan berlebihan, justru itu menjadi tanggung jawab besar bagi saya dan tim untuk menjadikan kemenangan itu menjadi  hal yang mengandung kebermanfaatan.

Apa yang saya sampaikan terkait lomba bukan bermaksud untuk pamer ya, pertama saya ingin mengingatkan bahwa kadang ketidaktahuan kita pada sesuatu membuat kita selalu berasumsi negatif. Dan asumsi tersebut pada akhirnya menutup pemikiran kita dan menolak kesempatan atau banyak hal yang berusaha masuk. Padahal jika kita berniat kritis, pemikiran itu harus dibuka selebar-lebarnya. Jika saya selalu berpikiran negatif pada lomba, saya mungkin tidak akan mendapatkan itu semua.  Kedua, saya juga ingin mengingatkan bahwa hasil yang saya dapat, merupakan hasil perjuangan berat saya dan teman-teman 1 tim. Bagaimana tidak? Kami harus latihan, diskusi, mengerjakan projek lomba di kampus hampir tiap hari (ditengah tugas skripsi yang juga mengharap untuk dikerjakan).  Jika menceritakan satu-satu perjuangan lomba akan sangat panjang, Tanya langsung ke saya saja nanti saya akan ceritakan lebih banyak hehe. 

Kemudian soal SKRIPSI dan menuntaskan PERKULIAHAN.

Skirpsi saya sebenarnya termasuk mudah, segala permasalahan teknis saya anggap masih biasa. Tapi apa yang membuat saya harus mengerjakan selama setahun? Sehingga saya harus lulus normal 4 tahun. Pertama saya merasa belum siap terjun ke masyarakat. Kedua ada banyak keinginan yang harus saya lakukan sebelum lulus. 

Kelulusan bagi saya sangatlah sakral. Jika tergesa-gesa lulus, saya mungkin akan menyesal dikemudian hari. Maka saya putuskan untuk menjalani kelulusan dengan normal. Selama itu akhirnya saya belajar, meskipun pada akhirnya saya tak sepenuhnya siap. Saya merasa bekal saya lulus sudah cukup untuk saya bawa setelah lulus. 

Sebagai lulusan sosiologi, tak gampang untuk mendapatkan bekal yang cukup untuk lulus. Output keahlian kita seharusnya tidak ditempa dengan waktu yang cepat. Hasilnya pun mungkin juga tidak bisa terlihat cepat dan nyata. Pada akhirnya siap tidak siap saya harus segara terjun dan terus belajar di setiap prosesnya.

Bahagia rasanya bisa menuntaskan masa kuliah. Bagi saya kelulusan bukan soal saya saja, tapi juga orang tua saya yang juga memperjuangakan saya untuk bisa kulah. Akhirnya perjuangan mereka membuahkan hasil, saya lulus.  Meskipun begitu perjuangan belum berakhir, saya masih harus memikirkan setelah lulus mau kemana. Saya menanggung beban yang cukup berat sebagai “anak pertama” dan “lulusan sarjana”. Keluarga saya mungkin tidak terlalu, tapi masyarakat tentuk menjadi pihak yang cukup menekan dalam beban tersebut. Akhirnya saya putuskan untuk merantau setelah wisuda. (meskipun agak terlambat karena saya merantau 2 bulan setelah wisuda, hal tersebut karena saya masih ada projek penelitian untuk tambahan sangu sekaligus pengalaman untuk merantau) 

Terakhir, saya ingin ceritakan mengenai lompatan besar yang entah kenapa saya berani melakukannya. “MERANTAU”. Cerita mengenai merantaui ini akan saya ceritakan di akhir tahun 2019. Sekarang saya akan bahas kenapa saya harus merantau dan kenapa harus di Jogja. Latar belakangnya sebenarnya saya hanya ingin berjuang mewujudkan idealisme saya terkait apa yang sudah saya pelajari dan alami selama kuliah seperti organisasi, lomba, penelitian, belajar dll. Kenapa tidak diwujudkan dirumah sendiri? Pertama, saya ingin mandiri. Saya ingin benar-benar memperjuangkan sendiri dan merasakan sendiri bagaimana beratnya memperjuangkan idealism ditengah banyak himpitan dan tekanan hidup. Saya ingin tahu kehidupan ini seberat apa?. Kedua saya ingin sementara melepaskan diri dari bayang-bayang dan tekanan-tekanan masyarakat yang berusaha mengatur hidup saya. Ketiga, setelah saya diberikan Tuhan jalan-jalan ke banyak tempat gratis, Saya jadi ingin mengeksplorasi dunia ini dengan travelling (selain baca buku). 

Kenapa Jogja? Menurut saya Jogja kota yang cukup tenang dan ramah untuk saya memperjuangkan idealisme saya. Kemudian Jogja memiliki banyak cerita yang ingin saya gali. Selebihnya saya ceritakan nanti lain kali.

Yang jelas. Merantau ini keputusan besar sekaligus berat bagi saya, terutama soal orang tua.  Saya tidak tega meninggalkan mereka. Jika saya ingat Ibu. Saya kasihan melihat beliau dirumah sendiri dan mengkhawatirkan saya setiap harinya. Sebagai anak pertama dan laki-laki. Saya harusnya bertanggung jawab pada besar pada keluarga. Kadang saya merasa, apakah keputusan saya egois?. 
[JEDA] Tiba-tiba saya nangis wkwkwk ngomongin orang tua.

Well, Tuhan sudah memberikan banyak hal di tahun ini. Saya harus bersyukur. Saya juga  ingin mengapresiasi diri sendiri bahwa “I did my best” karena telah melakukan banyak lompatan.  Tahun ini akan menjadi sebab dari akibat di masa depan. Semoga tahun depan menjadi lebih baik. Mohon doanya. 

Akhir kalimat saya ingin memberi sedikit saran, “kenyamanan itu bukan di zona nyaman tapi di zona yang penuh dengan tekanan.” Selamat memperbaiki hidup dan selamat menikmatinya juga.

You May Also Like

0 komentar