Anteposterior

(n) Tempat Dimana Dapat Berbagi Pikiran Dan Perasaan

Gambar dari Google
Dalam sebuah pembangunan, tujuan adalah kunci. Tujuan menjadi arah langkah yang didasarkan atas kebermanfaat. Dalam konteks sosial, pembangunan harus didasarkan atas kebermanfaatan bersama. Maka dari itu tujuan haruslah merupakan hasil konsesus yang kemudian dijalankan bersama.
Jika kita melihat pembangunan pendidikan di Indonesia saat ini, saya merasa kita belum memiliki satu kesatuan tentang tujuan pembangunan pendidikan, yang akhirnya terjadi ketidakselarasan perencanaan pembangunan dan juga ketidakselarasan program yang dihasilkan. Ketidakselarasan ini menurut saya terjadi karena perbedaan pandangan kita tentang pendidikan. Pertama, pandangan orientasi ekonomi. Kedua, pandangan orientasi sosial.
Orientasi ekonomi merupakan pandangan yang mempercayai bahwa pendidikan memiliki fungsi sebagai pemenuhan kebutuhan material. Pandangan ini melihat bahwa pendidikan merupakan alat untuk peningkatan ekonomi individu ataupun kelompok. Maka dari itu ilmu yang lebih diperlukan adalah ilmu praktis atau vokasional.
Dalam konteks negara, pandangan orientasi ekonomi melihat pendidikan sebagai hal yang paling penting dalam peningkatan perekonomian bangsa. Para murid disiapkan untuk menjadi ekonom yang mampu memperhitungkan ekonomi bangsa, teknisi atau ilmuan yang mampu mengolah sumber daya alam, buruh yang berkualitas untuk menjalankan perusahaan-perusahaan besar. Dilihat dari Rancangan Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Pendidikan Indonesia, tema pendidikan untuk tahun 2015-2019 adalah daya saing regional. Di dalamnya terdapat tujuan yaitu memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis pada SDA yang tersedia, SDM yang berkualitas serta kemampuan IPTEK. Jika dibaca secara keseluruhan mulai dari tahun 2005-2024, tujuan kita adalah kesejahteraan ekonomi. Lantas apakah salah? Tentu saja tidak, tapi yang perlu dikritisi adalah apakah kesejahteraan ekonomi yang diinginkan memang benar untuk sosial? Bukan untuk pemilik modal? atau orang-orang kaya saja, agar tetap kaya?
Dalam konteks individu, pandangan orientasi ekonomi melihat pendidikan adalah alat untuk melakukan mobilitas sosial dari yang miskin menjadi kaya, atau dari yang kaya menjadi lebih kaya. Semua orang berkompetisi mendapatkan gelar agar memiliki kesempatan untuk bisa bekerja dan mendapatkan “feedback” berupa gaji yang besar. Pada akhirnya mereka melakukan segala cara dengan upaya menyingkirkan yang lain atau istilahnya adalah “survival of the fittest”. Padahal setelah bekerja mereka mungkin akan merasakan aleniasi seperti yang pernah dijelaskan Marx.
Disisi lain, pandangan yang berupaya mengkritisi pandangan orientasi ekonomi adalah orientasi sosial. Pandangan orientasi sosial sebenarnya merupakan pandangan pendidikan kritis, yang melihat bahwa pendidikan merupakan alat untuk membebaskan manusia dari segala penindasan. Selain itu pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia. Seorang tokoh yang paling terkenal dalam pendidikan kritis yaitu Paulo Freire mengatakan “Pendidikan tidak mengubah dunia, pendidikan mengubah manusia, manusia mengubah dunia”. Itulah mengapa pandangan ini saya sebut sebagai pandangan orientasi sosial.
Dalam pandangan orientasi sosial, ilmu merupakan hasil dari rasa ingin tahu yang memiliki fungsi untuk memenuhi kebutuhan (materi dan non materi) diri sendiri maupun kelompok yang kemudian memiliki tujuan untuk kebermanfaatan bersama. Maka dari itu ilmu yang dipelajari haruslah memiliki hakikat yang kuat dan teoritis, karena orientasinya pada kerangka berpikir yang berfungsi sebagai dasar yang kuat dalam bertindak. Kemudian dalam pandangan ini, siswa diberikan hak sepenuhnya dalam memilih masa depannya. Hal tersebut seperti yang pernah dikatakan Ki Hajar Dewantara, “anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri, pendidik hanya dapat merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu”. Dari pandangan pendidikan tersebut maka lahirlah sekolah atau metode pendidikan yang kritis, dalam bentuk praktis misalnya sekolah alam atau metode pendidikan “student oriented”.
Masalahnya adalah, kedua pandangan tidak bisa berjalan berdampingan tanpa komunikasi dan kerjasama. Saya percaya bahwa keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan yang perlu dicarikan titik tengahnya. Selama ini kurikulum 2013 sebenarnya sudah mengarah pada pendidikan kritis namun, suasana pembelajarannya masih mengarah pada pandangan orientasi ekonomi. Pendidikan kritis yang dilakukan masyarakat (swasta) juga tidak memiliki dukungan yang kuat dari  pemerintah ataupun masyarakat kebanyakan. Beberapa waktu lalu misalnya, KEMENRISTEK DIKTI  mengarahkan kampus sesuai kebutuhan industri tanpa melibatkan ilmu sosial dan humaniora, saya kira ini langkah yang terlalu terburu-buru. Apakah benar pernyataan tersebut memang baik untuk masyarakat misalnya?
Saya kira perbedaan pandangan ini disisi lain memang positif seperti yang dikatakan Yuval Noah Harari bahwa kontradiksi-kontradiksi merupakan mesin pembangunan kebudayaan, yang melahirkan kreativitas dan dinamisme. Ketidakselarasan akan memaksa kita untuk berpikir, mengevaluasi ulang dan mengkritik. Namun meski begitu diskursus yang terjadi haruslah dikontrol dengan komunikasi dan kerjasama. Negara harus lebih melibatkan banyak masyarakat yang memiliki pandangan pendidikan kritis (atau yang saya sebut orientasi sosial) dalam membuat keputusan. Beberapa orang yang memiliki pandangan kritis pun juga harus turut aktif membuka diri untuk berkomunikasi dan bekerjama dengan pemerintah. Antar lembaga pemerintah pun juga perlu komunikasi dan kerjasama, pun juga antar masyarakat. Sehingga, nantinya diharapkan ada semacam sintesis yang menjadi solusi terbaik bagi pendidikan di negara ini.
Masalah pendidikan kita ini sangatlah kompleks, tidak bisa diselesaikan sendirian. Komunikasi dan kerjasama adalah kunci.
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Sumber Gambar: Google
Saya sering bertanya pada murid saya “Kenapa sih kalian harus belajar?atau karena saya sering mengajar bahasa Inggris, saya sering tanya kenapa kalian belajar bahasa Inggris?”. Pertanyaan tersebut sebenarnya upaya saya untuk mencari tahu seperti apa makna belajar bagi mereka.
Seperti dugaan saya, mereka paling banyak menjawab “tidak tahu”, “biar pinter”, “mendapat nilai bagus”,”biar sukses” , “biar mendapatkan pekerjaan yang baik”, “ biar kaya”. Hal yang saya dapat simpulkan adalah mereka kurang luas memaknai belajar itu sendiri. Kalau begitu apa sih makna belajar secara luas?.
Gini, saya tidak sedang menyalahkan apa yang mereka sudah maknai tentang belajar. Karena apa yang mereka maknai tentang belajar juga tidak salah di mata masyarakat Indonesia yang mayoritas menilai belajar itu ya biar pintar, mendapatkan nilai bagus, dapet gelar, terus sukses (re:kaya). Dalam masyarakat kita, belajar juga dimaknai  harus dilakukan di sekolah dari pagi sampai malam dan harus menuruti apa yang guru katakan. Menurut saya inilah bagaimana konstruksi  makna belajar mereka bisa terbentuk. Jika makna belajar hanya dimaknai seperti itu, menurut saya mereka hanya akan mendapatkan lelah, stress, dan taruhannya bisa antara rugi karena sudah membayar banyak hal atau beruntung karena mendapatkan gelar.
Sebenarnya apa yang harus didapat dari belajar?
Belajar itu kan proses untuk mengetahui dan memahami sesuatu yang mereka tidak ketahui, Kemudian pengetahuan dan pemahaman tersebut dijadikan sebagai alat untuk mencari solusi. Solusi untuk apa? Ya segala permasalahan manusia  dan lingkungannnya. Jika ditanya belajar itu untuk apa ya sebenarnya sesederhana, belajar adalah cara kita untuk bisa bertahan hidup di Dunia.
Saya kadang heran ketika orang mengatakan, "belajar atau pendidikan itu ya biar di masa depan sukses" (yang selalu dimaknai dengan kaya). Padahal, jika ingin kaya ya bisnis. Itu pun juga perlu belajar kan?. Saya juga heran sama orang yang mengatakan pendidikan itu tidak penting karena tidak akan membuatmu kaya. Belajar itu memang tidak membuatmu kaya tapi juga bukan berarti tidak penting.
Gini ya, apa yang kita pelajari di sekolah adalah untuk membentuk logika kita dalam berpikir. Untuk apa? Ya agar kita tahu bagaimana caranya menyelesaikan masalah-masalah kita. Selain itu, semua pelajaran memiliki fungsinya masing-masing yang intinya untuk mempermudah kita untuk bisa hidup sebagai manusia. Apakah kita harus mempelajari semua? Ya itu semua tergantung kebutuhanmu dan apa yang kamu sukai. Jangan paksakan dirimu belajar sesuatu yang kamu tidak sukai dan tidak kamu butuhkan. Misalnya nih, ketika SMA kita sering dapet saran kalau kamu masuk IPA masa depanmu akan sukses, kalau kamu masuk IPS masa depanmu akan suram. Jika kamu memang menyukai IPS ya pelajarilah sampai kamu menjadi ahli. Percuma kan masuk IPA tapi tidak tahu apa-apa karena kamu tidak menyukainya.
Pernah tidak kamu mendengar orang bilang “udah belajarnya jangan banyak-banyak toh ya sama aja, malah bikin capek kan”. Gini ya, proses belajar itu bertahap dan tidak ada akhirnya. Jadi ketika kita belajar membaca dari TK sampai kuliah apakah yang kita pelajari sama? Tidak kan? Kita belajar dari menyambung huruf per huruf, kata per kata sampai kita bisa membaca, kemudian kita belajar membaca cepat, kita belajar memahami bacaan, kita belajar menganalisis bacaan sampai kita mampu mendapatkan banyak hal dari membaca. Semua itu proses bertahap yang tidak ada hentinya.
Apakah belajar itu berarti hanya di sekolah? Apakah belajar itu hanya belajar matematika, bahasa inggris, IPA, IPS, atau pelajaran akademis lainnnya?
Saya pernah membaca sebuah cerita tentang beberapa orang kota yang mengajak anak dari suku pedalaman untuk belajar dan mengenyam pendidikan di Kota. Beberapa orang kota itu bilang ke kepala suku bahwa anak-anak mereka tertinggal dalam bidang pendidikan. Mereka (beberapa orang kota) berjanji jika anak-anak pedalaman boleh dibawa ke kota, maka anak-anak tersebut akan memiliki pendidikan yang lebih baik. Si kepala suku awalnya menolak karena menurutnya Ia dan orang-orang tua yang lain merasa sudah mendidik anaknya dengan sangat baik. Namun, si kepala suku pada akhirnya mengiyakan permohonan dari beberapa orang kota.
Suatu hari setelah anak-anak pedalaman tersebut kembali ke suku aslinya. Dengan bangga para orang kota mengembalikan anak-anak pedalaman ke kepala suku. Karena anak-anak pedalam tersebut pandai berhitung, membaca, menulis dan kemampuan akademis yang lain. Namun Si kepala suku justru marah dan menyesal karena telah mengizinkan anak-anaknya dibawa ke kota. Anak-anaknya menjadi semakin tidak tahu caranya berburu, menguliti hewan, bertahan hidup dan beberapa keahlian yang harusnya dimiliki suku tersebut.
Apa yang bisa diambil dari cerita tersebut? Pendidikan itu tidak penting?
Bukan itu. Tapi menurut saya belajar atau pendidikan itu harus dimaknai lebih luas lagi. Belajar bukan hanya soal akademis, tapi juga non akademis. Belajar bukanlah soal alat-alat seperti buku dan tulisan, tapi juga soal gambar, pengamalan, cerita, pengamatan dan lain-lain. Belajar juga bukan hanya di sekolah tapi dimanapun, di jalan, warung, rumah sakit, di kolong jembatan, gunung, pantai dan lain-lain.
Sudah mendapatkan kesimpulan? belajar itu harusnya menyenangkan kan berarti? Karena kita mendapatkan sesuatu untuk menyelesaikan masalah kita?. Kenapa belajar sekarang ini kemudian menjadi momok yang menangkutkan? Padahal belajar adalah tentang mengembangkan apa yang kita sukai?
Renungi lagi, jika kita gagal memaknai belajar, maka bagaimana kita ingin meningkatkan kualitas pendidikan kita yang menurut data tertinggal jauh. Bagaimana kita ingin anak/murid/saudara kita pintar atau mudah mengerti, jika makna tentang belajar saja kita begitu sempit. Yok sama-sama renungi dan perbaiki.
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Sumber gambar: Google

Untuk yang pernah mengajar, “pernahkah kamu merasa sulit mengajari seseorang?”
Untuk yang pernah belajar, “pernahkah kamu sulit memahami sesuatu?”
Sekarang, pertanyaannya adalah "kenapa pertanyaan tersebut bisa ada?"
Saya percaya bahwa setiap manusia itu berbeda. Everyone is unique. Seperti sebuah harmoni indah dari musik yang terdiri dari berbagai macam nada. Dalam pendidikan, saya percaya setiap orang memiliki caranya masing-masing, kesukaan dalam belajarnya masing-masing, dan juga memiliki tujuan belajar masing-masing. Jika kita semua setuju tentang hal tersebut, maka seharusnya pendidikan juga memiliki sifat yang menghargai perbedaan. Tidak bisa disamakan. Sayangnya pendidikan di Indonesia ini masih saja tidak berpegang teguh pada prinsip tersebut.
Sekarang ini kita hidup pada era globalisasi yang tak terbendung. Globalisasi telah masuk ke seluruh penjuru dunia, bahkan mulai masuk begitu dalam sampai pada masyarakat lokal yang kini mulai terlihat. Globalisasi telah membuat banyak orang terhubung dan banyak nilai kemudian menyatu. pada akhirnya pendidikan juga mendapatkan dampaknya. Pendidikan di seluruh dunia pada akhirnya memiliki pelajaran yang sama, cara mendidik yang sama, kurikulum yang sama, kemampuan murid yang disamakan dan banyak hal kemudian menjadi semakin menyatu. Para aktor dalam dunia pendidikan juga pada akhirnya terhegemoni dengan alur pendidikan yang mulai sejalan dengan tujuan globalisasi yaitu menciptakan dunia yang menjadi satu dan tanpa batas. Siapakah aktor pendidikan yang saya maksud? Guru, Sekolah, Pemerintah.
Lantas apakah salah? Tidak salah jika kita mampu memanfaatkan dengan baik. Tapi akan menjadi masalah jika ternyata globalisasi dalam pendidikan justru menciptakan masalah baru dalam dunia pendidikan.
 Saya ambil contoh masalah Ujian Nasional. Semua murid disamakan kualitas pendidikannya  dengan cara harus mengikuti Ujian Nasional dengan standart yang sama. Dulu saat nilai Ujian Nasional menjadi tolak ukur kelulusan, semua guru dan murid berjuang keras sampai melewati batas-batas integritas seperti mencontek/membiarkan mencontek, batas-batas kemampuan ekonomi seperti berani membayar berapapun untuk les, dan juga batas-batas kemampuan diri seperti belajar dari pagi sampai pagi lagi non-stop. Banyak sekolah di daerah merasa kesulitan untuk mencapai standart dan banyak murid yang tidak lulus, akhirnya setelah banyak kontra maka kebijakan tersebut dihilangkan.
Namun, masalah ternyata terus berlanjut. Masalah selanjutnya adalah kebijakan Ujian Nasional harus berbasis komputer. Banyak sekolah yang belum siap karena fasilitas yang belum mumpuni, selain itu beberapa murid yang saya pernah tanyai juga tak nyaman dalam mengerjakan soal berbasis komputer. Saya mengapresiasi niat pemerintah dalam memajukan teknologi sekaligus mengefektifkan anggaran pendidikan. Selain itu, saya juga mengapresiasi niat pemerintah untuk menyamakan standart kualitas siswa di Indonesia. Namun siswa-siswi di Indonesia ini bukanlah robot yang dicetak harus sama. Mereka bukanlah gelas kosong yang harus diisi sama rata dengan air yang sama. Pendidikan bukanlah alat untuk mencetak orang-orang terbaik yang kemudian diberikan pada pemilik modal. Bagi saya ini merupakan masalah mindset mengenai makna pendidikan kita yang masih bias. Pada akhirnya kebijakan yang lahir adalah kebijakan yang kurang tepat.
Jika pendidikan hanya dimaknai sebagai solusi dari masalah ekonomi maka tentu saja yang diajarkan hanyalah untuk menjadi aktor-aktor yang menjawab masalah ekonomi, tapi jika pendidikan dimaknai sebagai solusi dari segala permasalahan manusia maka pemerintah akan memfasilitasi setiap kemampuan yang berbeda dengan lingkungan yang berbeda untuk bekerjasama dalam upaya penyelesaiaan permasalahan di Indonesia. Kemudian juga, pemerintah harusnya memberikan pendidikan yang mengerti konteks dari setiap individu yang berbeda, sehingga mampu menyelesaikan kompleksitas permasalahan yang ada di Indonesia.
Gimana sih itu maksudnya?
Pernahkah bertanya, kenapa semua murid diajarkan materi matematika yang sama, padahal ada materi yang sebenarnya tidak terlalu dia butuhkan? Misalnya dia seorang yang suka dan ahli di bidang seni, mengapa banyak orang harus menekan dia untuk memiliki nilai yang tinggi di matematika? Pernah kah kalian dikatakan “bodoh” hanya karena tidak menguasai satu materi atau satu pelajaran? Atau pernahkan kalian merasa begitu sulitnya memahami satu materi?
Jika semua iya maka itu karena pendidikan kita yang terlalu memaksakan kita mempelajari sesuatu yang tidak kita suka hanya untuk menyamakan standart. Pendidikan kemudian diajarkan dengan pengetahuan global yang tidak relevan dengan konteks lokal disekitar kita. Apa yang terjadi? Kita akhirnya memaksa murid untuk berimajinasi pada sesuatu yang sulit dibayangkan dan sesuatu yang mungkin tak disukai. Murid pun stress karena harus memaksa dirinya untuk mengerti. Pemaksaan itu yang menurutku mengakibatkan  ketidaktahuan yang berujung pada rendahnya semangat untuk belajar. Akhirnya yang terjadi mereka kehilangan makna yang sebenarnya dari pendidikan.
Pergeseran makna inilah yang kemudian harus dilawan dengan pendidikan yang berbasis pada pemahaman konteks lokal. Pendidikan konstektual kini menjadi solusi dengan membuat siswa bisa lebih mudah mengerti mengenai apa yang ia pelajari, tujuan dari apa yang dia pelajari, dan mampu menyelesaikan masalahnya sendiri dan lingkungannya.
Beberapa cara yang dapat dilakukan, secara ringkas menurut Zahorik (1995: 14) berpendapat bahwa beberapa strategi pembelajaran yang dapat dikembangkan oleh guru melalui pembelajaran kontekstual adalah: (a) pembelajaran berbasis masalah, (b) memanfaatkan lingkungan siswa untuk memperoleh pengalaman belajar; (c) memberikan aktivitas kelompok; (d) membuat aktivitas belajar mandiri; (e) membuat aktivitas belajar bekerja sama dengan masyarakat ; dan (f) menerapkan peniaian autentik.
Pendidikan kontekstual diharapkan bisa menjadi upaya glokalisasi untuk melawan narasi globalisasi pendidikan. Seperti halnya glokalisasi dalam konteks "sosiologi ekonomi", glokalisasi juga mampu dilaksanakan dalam pendidikan. Konsep pendidikan yang global harus disesuaikan dengan konsep lokal yang mampu memiliki dampak yang reflektif bagi murid dan lingkungannya. Sehingga penyamarataan kualitas secara masif dan global akan diimbangi dengan kualitas secara spesifik yang dimiliki setiap invidivu yang berbeda. Seperti halnya "efek domino", peningkatan spesifikasi keahlian murid yang diharmonisasikan aktor pendidikan kemudian akan mampu menyelesaikan masalah lokal dan juga masalah global yang lebih kompleks. 
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Newer Posts
Older Posts

About Me

Yoga Dewa

(Sociologist)

Focus on Community Development, Education, New Social Movement

Instagram: @Yogantarawa

Labels

  • CERPEN
  • MY ART
  • OPINI
  • Puisi
  • REKOMENDASI
  • TIPS AND TRICK

recent posts

Sponsor

Flag Counter

Blog Archive

  • ►  2023 (1)
    • ►  October (1)
  • ►  2020 (6)
    • ►  May (3)
    • ►  February (1)
    • ►  January (2)
  • ▼  2019 (22)
    • ►  December (1)
    • ►  September (6)
    • ►  August (4)
    • ►  June (1)
    • ►  May (1)
    • ▼  March (3)
      • DISKURSUS PEMBANGUNAN PENDIDIKAN INDONESIA
      • Kenapa Kita Belajar?
      • Menjawab Globalisasi Pendidikan dengan Pendidikan ...
    • ►  February (5)
    • ►  January (1)
  • ►  2018 (4)
    • ►  December (1)
    • ►  February (2)
    • ►  January (1)
  • ►  2017 (16)
    • ►  November (1)
    • ►  October (4)
    • ►  September (1)
    • ►  July (2)
    • ►  May (5)
    • ►  February (1)
    • ►  January (2)
  • ►  2016 (27)
    • ►  August (1)
    • ►  July (3)
    • ►  June (9)
    • ►  May (2)
    • ►  April (2)
    • ►  March (2)
    • ►  February (3)
    • ►  January (5)
  • ►  2015 (8)
    • ►  December (7)
    • ►  October (1)
  • ►  2014 (11)
    • ►  August (2)
    • ►  July (4)
    • ►  June (5)

Created with by BeautyTemplates| Distributed By Gooyaabi Templates