Anteposterior

(n) Tempat Dimana Dapat Berbagi Pikiran Dan Perasaan


Arah pendidikan Indonesia saat ini akan diarahkan pada pemenuhan peningkatan ekonomi. Jokowi sendiri menyatakan jika pendidikan harus diselaraskan dengan kebutuhan pasar. Penunjukan Nadiem mantan CEO dan juga pendiri Go-Jek sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan, juga menguatkan dugaan bahwa pendidikan kita memang akan dibawa pada apa yang menjadi keahlian dari Nadiem yaitu bisnis dan teknologi. Maka dari itu, saat pelantikan menteri Jokowi berpesan pada Nadiem jika Ia ingin terobosan besar terakit dengan sumber daya manusia agar siap kerja, siap berusaha dan link and match antara pendidikan dan industri. Jokowi  seperti berharap besar pada Nadiem agar mampu menjawab tantangan industri 4.0 melalui pendidikan.
Pandangan Jokowi tentang pendidikan seolah melihat bahwa pendidikan hanya untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi negara. Pandangan pendidikan seperti ini memang menjadi arus utama pendidikan di Indonesia. Bagi negara berkembang, peningkatan ekonomi memang menjadi utama. Jadi memang wajar jika arah pendidikan Indonesia hanya untuk peningkatan ekonomi. Bukan hanya pemerintah, pandangan masyarakat terkait pendidikan juga sama yaitu untuk peningkatan ekonomi keluarga dan juga ajang mobilitas status sosial-ekonomi.
Pandangan pendidikan yang hanya berfokus pada orientasi ekonomi akhirnya men-dekontruksi pendidikan dengan pandangan-pandangan ekonomi. Pada akhirnya pendidikan hanyalah menjadi sebuah pelatihan kerja, murid-murid menjadi calon tenaga kerja, dan sekolah-sekolah menjadi alat produksi. Sebenarnya dari ini semua apakah benar-benar murid diuntungkan? Negara diuntungkan? atau para pemilik modal yang diuntungkan?
Di Amerika, seorang peneliti pendidikan Michael Apple dalam bukunya Cultural Politic and Education (1996) menjelaskan bahwa pendidikan kapitalis di Amerika telah membawa semua sekolah dalam persaingan bebas layaknya dalam dunia bisnis. Kurikulum diganti menjadi yang lebih menjual, dalam arti bahwa sesuai dengan kebutuhan pasar. Murid-murid juga pada akhirnya dikompetisikan untuk mencari yang terbaik yang nantinya mampu mengisi ruang-ruang kerja dalam industri yang dimiliki pemodal. Hal yang sama akan terjadi di Indonesia jika pemerintah tidak mampu mengkontrol dampak dari kapitalisme global yang sekarang makin meluas melewati batas-batas negara.  
Sosiolog pendidikan Henry Giroux  dalam bukunya Neoliberalism’s War on Higher Education’ (2011) menuliskan jika dampak dari pendidikan yang hanya berfokus pada orientasi ekonomi akan menumpulkan nilai-nilai kritis. Kurikulum yang ada akan mematikan semangat melawan ketidakadilan dan semua saling berkompetisi demi kebutuhan pasar. Tidak ada lagi yang memperjuangkan “Public Good”, karena semua memperjuangkan dirinya masing-masing. Maka dari itu Henry mengatakan jika akan lahir nilai-nilai utilitarian individualisme. Lembaga-lembaga pendidikan akan menjadi lembaga-lembaga bisnis. Para guru, dosen siswa dan mahasiswa tidak akan masuk pada demokrasi untuk menyumbangkan ide-ide. Nilai kritis dan teoretikal analisis mereka akan tergantikan oleh kemampuan-kemampuan praktikal dan terapan saja.
Kondisi ekonomi Indonesia yang masih berkembang memang tidak bisa dihindarkan, masih banyak keluarga yang tidak mampu mencukupi kebutuhan dasar. Harapan pemerintah akan pendidikan mungkin akan selaras dengan keinginan masyarakat. Tapi, jangan sampai tidak ada kontrol dan ikut hanyut dalam derasnya arus kapitalisme yang melunturkan nilai-nilai yang baik di Indonesia. Jika dulu semua orang saling bantu untuk hidup, sekarang semua orang mengejar mimpi masing-masing tanpa melihat yang lain. Bukan hanya itu, kita dengan bangga menindas mereka yang tak punya apa-apa.
Ketika semua masalah sudah sangat kompleks dan kita hanya mengikuti arus, maka jalan keluar dari segala ketidakmanusiaan ini adalah kritis terhadap apa yang sedang terjadi. Kita semua tahu bahwa pendidikan kita selama ini telah me-dehumanisasi. Tapi kita bisa apa? tak peduli. Kenapa? Karena kita juga adalah produk-produk pendidikan yang mematikan rasa manusia itu. Menurut Paulo Freire ini yang disebut sebagai kesadaran magis dan naif. Maka harusnya pendidikan kita membentuk kesadaran kritis sebagai sebuah tujuan utama dalam pendidikan yang memanusiakan manusia.
Pendidikan Kritis Sebagai Alternatif
Bagi Saya, hal terpenting dari apa yang diamanatkan presiden dan juga banyak pandangan masyarakat mengenai pendidikan adalah dihidupkannya nilai-nilai kritis dalam pendidikan di Indonesia. Ki Hajar Dewantara Bapak Pendidikan Indonesia sejak dulu sudah mengatakan jika pendidikan haruslah menjadi alat yang memerdekakan siswa. Pandangan Ki Hajar Dewantara terkait pendidikan yaitu mampu memanusiakan manusia, bukan mampu memanfaatkan manusia.
Sebenarnya saya sedikit pesimis melihat pendidikan kritis sebagai alternatif di Indonesia, jika melihat pandangan pemerintah dan masyarakat yang masih sama tentang pendidikan yang hanya sebagai alat untuk memperkaya. Tapi beberapa kebijakan Nadiem menteri pendidikan dan kebudayaan yang baru cukup memberi harapan jika nantinya pendidikan kritis bukan hanya sebagai alternatif tapi juga yang utama. Konsep “merdeka belajar” yang digagas dan beberapa pernyataannya dalam beberapa pidato menyatakan jika Ia ingin menumbuhkan nilai kritis dan juga meningkatkan kreativitas siswa.
Masalahnya adalah apakah kemudian gagasan yang disampaikan akan terimplementasikan sampai akar rumput?
Tandingan atau Ketidakmungkinan
Seorang pendidik Theodore Sizer dalam tulisannya “Social Work” menyatakan jika di pendidikan Amerika yang memiliki arus utama pendidikan konservatif telah meniadakan alternatif pendidikan lain karena begitu represifnya pemerintah dalam mengisolasi pendidikan. Jika berkaca dengan Indonesia, pendidikan alternatif memang masih berkembang. Terlihat dari masih adanya sekolah alam yang berkembang ataupun kurikulum internasional yang masih berkembang.
Saya tidak melihat pendidikan alternatif sebagai tandingan karena sekolah-sekolah dengan pendidikan alternatif memiliki “penggemar” atau “pengikut”nya sendiri. Saya juga percaya bahwa pendidikan alternatif bukanlah sebuah ketidakmungkinan karena pada akhirnya saya percaya bahwa mereka akan kembali mencari jati diri mereka sendiri sebagai manusia secara alami. Bahkan jika tak harus menunggu, banyak orang yang akan memperjuangkan. Masalahnya memang pada saat ini banyak yang gagal dalam memperjuangkan pendidikan kritis karena tidak “praktikal” dalam upaya mengimplementasikan gagasan. Henry Giroux seorang sosiolog pendidikan sebenarnya juga menyarankan pada setiap pendidik radikal untuk melihat realitas dan tidak melulu memaksakan pandangan dengan hanya misalnya melihat struktur dominasi hanya dari ekonomi. Padahal, ada elemen perubahan lain yaitu hati nurani, persuasi dan identitas generasi. Giroux memang fokus pada cara-cara praktikal dalam memperjuangkan pendidikan kritis yang radikal. Radikal dalam arti menyeluruh.
Pendidikan kritis harus melihat realitas lapangan sebagai negara berkembang yang tak lepas dari kebutuhan ekonomi. Jalur perjuangannya harus dengan tidak memaksakan pandangan. Jika masih ingin ada dan hidup berkembang.
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Gambar diambil dari @yogantarawa

Bagi Saya yang sedari lahir tinggal di Surabaya, menginjakkan kaki di Jogja merupakan pengalaman yang menarik sekaligus aneh. Pasalnya, beberapa budaya Jogja sangat berbeda dengan Surabaya, padahal masih satu Jawa. Pikirku dulu sebelum merantau, perbedaan budayanya tidak terlalu drastis. Karena Saya sering jalan-jalan di kota-kota mataraman Jawa Timur, katanya masih mirip-mirip sama Jawa Tengah dan Yogyakarta. Eh ternyata keduanya jauh sangat berbeda. Beberapa perbedaanya ada yang membuat Saya mudah beradaptasi. Tapi beberapa perbedaanya juga ada membuat Saya kesulitan untuk beradaptasi.
Perbedaan yang cukup mencolok dan membuat Saya jadi agak kebingungan yaitu perbedaan bahasa. Bahasa Jogja dan Surabaya memang sama-sama bahasa Jawa. Tapi, Keduanya tak sama. Surabaya menggunakan bahasa Jawa dengan dialek Arekan yang lebih keras. Sedangkan, Jogja menggunakan bahasa Jawa yang lebih halus. Saya tahu bahwa akan berbeda, tapi Saya tidak menduga jika rasanya akan sangat terasa. Misalnya saja soal perbedaan intonasi bicara. Di Surabaya, Saya sering mendengar orang dengan nada membentak atau seperti orang teriak. Di Jogja semua orang intonasinya sangat halus dan lembut. Bahkan ketika mereka sudah bilang “nggih Mas”, Saya berasa di suasana kerajaan-kerajaan tempo dulu. Bukannya Saya berlebihan, tapi memang Saya jarang mendengar nada-nada atau pilihan kata yang halus di Surabaya. Rasanya seperti dimanjakan dan disayang, maap ini alay.
Bukan berarti budaya dari bicaranya masyarakat Surabaya buruk atau salah, tapi memang ya itu ciri dan memang mengandung makna sosiologisnya. Saya juga kalau di Surabaya juga sukanya teriak-teriak saat berbicara. Dalam penggunaan bahasa Jawa, Surabaya memang ya termasuk pada tingkatan yang kasar. Meskipun Saya pendiam, ketika Saya di Surabaya maka gaya bicara Saya akan mengikuti. Begitu pun saat di Jogja, suasana pembicaraan yang lembut membuat Saya juga ikut-ikutan berbicara dengan nada dan pilihan kata yang lebih halus. Namun, memang kadang kita tidak bisa menyimpulkan jika semua orang Jogja itu semuanya ngomongnya halus. Beberapa teman Saya di Jogja juga ada yang cara ngomongnya seperti orang Surabaya. Tapi memang, jika boleh diratakan memang masyarakat Jogja memiliki intonasi dan penggunaan kata yang sangaaaaaaaaaaaat hualus pol (sangat halus).
Perbedaan bahasa membuat Saya juga perlu hati-hati dalam menggunakannya, Saya perlu mengikuti beberapa aturan main penggunaan bahasa di Jogja. Seperti kata pepatah “dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”. Di Jogja, Saya berusaha untuk tidak mengatakan kata ajaib Surabaya (Jan***) untuk menunjukan bentuk kedekatan ataupun persaudaraan. Karena, mungkin mereka akan menilainya berbeda. Untungnya, lidah Saya sudah otomatis tidak menggunakan kata ajaib Surabaya saat berbicara. Saya kira, kata ajaib Saya akan hilang di Jogja. Ternyata, saat Saya balik ke Surabaya kata ajaib tersebut muncul lagi dan lebih sering. Aku menduga karena kangen.
Selain soal intonasi, beberapa kata juga berbeda. Perbedaan kata itu juga sangat membingungkan dan sedikit mengganggu. Saat Saya bilang “Aku wes mari” yang artinya Saya sudah selesai mengerjakan/menyelesaikan sesuatu, banyak orang Jogja malah mengira artinya Saya sudah selesai dari sakit. Kata tersebut sering membuat komunikasi jadi membingungkan. Selain itu, banyak orang Jogja yang menertawai Saya saat bilang “mari” dalam pernyataan yang tidak tepat. Kelucuan juga terjadi saat mereka selalu mengakhiri kata tanya dengan kata “Po”, kalau di Surabaya selalu di akhiri kata “Ta”. Itu sering kali membuat Saya tertawa sendiri. Perbedaan memang begitu membahagiakan. Entah kenapa banyak orang yang suka anti perbedaan.
Perbedaan yang bikin Saya kesulitan beradaptasi adalah soal makanan. Susah sekali menemukan makanan yang pedas di Jogja. Kebanyakan makanan di Jogja memiliki rasa manis. Bukan hanya gudeg, tapi juga soto, mie goreng, sate. Ya kalau mau cari yang pedes sebenarnya juga ada seperti sambel mercon yang isinya kikil sapi dibumbu pedas. Tapi memang makanan yang manis lebih banyak. Makanya Saya sedikit kesusahan saat di awal soal makanan, lama-lama ya suka-suka saja.  Mungkin terpaksa lebih tepatnya. Oh iya, karena banyak makanan manis, jokes klasik yang sering ditemui yaitu “soalnya orang Jogja manis-manis”. Tapi jokes itu tidak pernah gagal apalagi kalau dibuat gombal ke pasangan asli Jogja. Coba saja, semoga tidak jadi garing ya.
Sebenarnya ada juga perbedaan yang bikin Saya juga jadi cepat beradaptasi di Jogja. Pertama, pengguna jalan yang lebih tertib dibanding di Surabaya. Hal yang paling jelas juga Saya jarang menemukan orang yang bentak-bentak di jalanan. Hal tersebut cukup membuat Saya nyaman berkendara di Yogyakarta. Apalagi Jogja memiliki jalanan yang renggang dan jalanan yang tidak seluas Surabaya. Tapi memang Malioboro menjadi jalanan paling macet se–Jogja. Hadeh. Ya memang karena di Malioboro adalah tempat yang enak buat pejalan kaki, bukan pengendara mobil atau motor.
Perbedaan selanjutnya yaitu soal atmosfer Jogja yang lebih tenang. Wajar memang jika banyak orang yang memilih Jogja sebagai destinasi liburan. Di setiap sudut Jogja bakal membuat kita merasa tenang dan santuy. Suasana “edgy” seperti menikmati kopi kala senja di sebuah kafe yang instagramable juga menambah nikmat buram di Jogja. Selain akan tenang, followers IG kalian juga akan iri dengan imajinasi mereka tentangmu. Bahwa kamu telah menemukan ketenangan di Jogja. Tapi tanya dulu harga kopinya ya, soalnya biasanya mahal. Bukannya tenang menikmati kopi malah pusing besok makan apa, sangking mahalnya. Sebenarnya ya nggak mahal ya, tapi kalau lihat UMR Jogja sepertinya agak aneh aja gitu.  
Meskipun Saya kadang heran dengan perbedaan UMR yang sangat jauh antara di Surabaya dan Jogja. Tapi mereka tetap bisa hidup santuy dan bahagia menikmati hidup. Itulah yang Saya pelajari di Jogja. Jogja yang katanya memiliki sejuta kenangan juga ternyata telah membiusku untuk jatuh cinta dengan segala perbedaan di Surabaya. Meski banyak budaya yang berbeda dan meski awalnya mengalami gegar budaya yang cukup sulit, Jogja memang tetap luar biasa bikin irit.
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Newer Posts
Older Posts

About Me

Yoga Dewa

(Sociologist)

Focus on Community Development, Education, New Social Movement

Instagram: @Yogantarawa

Labels

  • CERPEN
  • MY ART
  • OPINI
  • Puisi
  • REKOMENDASI
  • TIPS AND TRICK

recent posts

Sponsor

Flag Counter

Blog Archive

  • ►  2023 (1)
    • ►  October (1)
  • ▼  2020 (6)
    • ►  May (3)
    • ►  February (1)
    • ▼  January (2)
      • PENDIDIKAN KRITIS SEBAGAI ALTERNATIF, TANDINGAN DA...
      • GEGAR BUDAYA ANAK SURABAYA SAAT DI JOGJA
  • ►  2019 (22)
    • ►  December (1)
    • ►  September (6)
    • ►  August (4)
    • ►  June (1)
    • ►  May (1)
    • ►  March (3)
    • ►  February (5)
    • ►  January (1)
  • ►  2018 (4)
    • ►  December (1)
    • ►  February (2)
    • ►  January (1)
  • ►  2017 (16)
    • ►  November (1)
    • ►  October (4)
    • ►  September (1)
    • ►  July (2)
    • ►  May (5)
    • ►  February (1)
    • ►  January (2)
  • ►  2016 (27)
    • ►  August (1)
    • ►  July (3)
    • ►  June (9)
    • ►  May (2)
    • ►  April (2)
    • ►  March (2)
    • ►  February (3)
    • ►  January (5)
  • ►  2015 (8)
    • ►  December (7)
    • ►  October (1)
  • ►  2014 (11)
    • ►  August (2)
    • ►  July (4)
    • ►  June (5)

Created with by BeautyTemplates| Distributed By Gooyaabi Templates