GEGAR BUDAYA ANAK SURABAYA SAAT DI JOGJA

by - 19:19

Gambar diambil dari @yogantarawa

Bagi Saya yang sedari lahir tinggal di Surabaya, menginjakkan kaki di Jogja merupakan pengalaman yang menarik sekaligus aneh. Pasalnya, beberapa budaya Jogja sangat berbeda dengan Surabaya, padahal masih satu Jawa. Pikirku dulu sebelum merantau, perbedaan budayanya tidak terlalu drastis. Karena Saya sering jalan-jalan di kota-kota mataraman Jawa Timur, katanya masih mirip-mirip sama Jawa Tengah dan Yogyakarta. Eh ternyata keduanya jauh sangat berbeda. Beberapa perbedaanya ada yang membuat Saya mudah beradaptasi. Tapi beberapa perbedaanya juga ada membuat Saya kesulitan untuk beradaptasi.
Perbedaan yang cukup mencolok dan membuat Saya jadi agak kebingungan yaitu perbedaan bahasa. Bahasa Jogja dan Surabaya memang sama-sama bahasa Jawa. Tapi, Keduanya tak sama. Surabaya menggunakan bahasa Jawa dengan dialek Arekan yang lebih keras. Sedangkan, Jogja menggunakan bahasa Jawa yang lebih halus. Saya tahu bahwa akan berbeda, tapi Saya tidak menduga jika rasanya akan sangat terasa. Misalnya saja soal perbedaan intonasi bicara. Di Surabaya, Saya sering mendengar orang dengan nada membentak atau seperti orang teriak. Di Jogja semua orang intonasinya sangat halus dan lembut. Bahkan ketika mereka sudah bilang “nggih Mas”, Saya berasa di suasana kerajaan-kerajaan tempo dulu. Bukannya Saya berlebihan, tapi memang Saya jarang mendengar nada-nada atau pilihan kata yang halus di Surabaya. Rasanya seperti dimanjakan dan disayang, maap ini alay.
Bukan berarti budaya dari bicaranya masyarakat Surabaya buruk atau salah, tapi memang ya itu ciri dan memang mengandung makna sosiologisnya. Saya juga kalau di Surabaya juga sukanya teriak-teriak saat berbicara. Dalam penggunaan bahasa Jawa, Surabaya memang ya termasuk pada tingkatan yang kasar. Meskipun Saya pendiam, ketika Saya di Surabaya maka gaya bicara Saya akan mengikuti. Begitu pun saat di Jogja, suasana pembicaraan yang lembut membuat Saya juga ikut-ikutan berbicara dengan nada dan pilihan kata yang lebih halus. Namun, memang kadang kita tidak bisa menyimpulkan jika semua orang Jogja itu semuanya ngomongnya halus. Beberapa teman Saya di Jogja juga ada yang cara ngomongnya seperti orang Surabaya. Tapi memang, jika boleh diratakan memang masyarakat Jogja memiliki intonasi dan penggunaan kata yang sangaaaaaaaaaaaat hualus pol (sangat halus).
Perbedaan bahasa membuat Saya juga perlu hati-hati dalam menggunakannya, Saya perlu mengikuti beberapa aturan main penggunaan bahasa di Jogja. Seperti kata pepatah “dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”. Di Jogja, Saya berusaha untuk tidak mengatakan kata ajaib Surabaya (Jan***) untuk menunjukan bentuk kedekatan ataupun persaudaraan. Karena, mungkin mereka akan menilainya berbeda. Untungnya, lidah Saya sudah otomatis tidak menggunakan kata ajaib Surabaya saat berbicara. Saya kira, kata ajaib Saya akan hilang di Jogja. Ternyata, saat Saya balik ke Surabaya kata ajaib tersebut muncul lagi dan lebih sering. Aku menduga karena kangen.
Selain soal intonasi, beberapa kata juga berbeda. Perbedaan kata itu juga sangat membingungkan dan sedikit mengganggu. Saat Saya bilang “Aku wes mari” yang artinya Saya sudah selesai mengerjakan/menyelesaikan sesuatu, banyak orang Jogja malah mengira artinya Saya sudah selesai dari sakit. Kata tersebut sering membuat komunikasi jadi membingungkan. Selain itu, banyak orang Jogja yang menertawai Saya saat bilang “mari” dalam pernyataan yang tidak tepat. Kelucuan juga terjadi saat mereka selalu mengakhiri kata tanya dengan kata “Po”, kalau di Surabaya selalu di akhiri kata “Ta”. Itu sering kali membuat Saya tertawa sendiri. Perbedaan memang begitu membahagiakan. Entah kenapa banyak orang yang suka anti perbedaan.
Perbedaan yang bikin Saya kesulitan beradaptasi adalah soal makanan. Susah sekali menemukan makanan yang pedas di Jogja. Kebanyakan makanan di Jogja memiliki rasa manis. Bukan hanya gudeg, tapi juga soto, mie goreng, sate. Ya kalau mau cari yang pedes sebenarnya juga ada seperti sambel mercon yang isinya kikil sapi dibumbu pedas. Tapi memang makanan yang manis lebih banyak. Makanya Saya sedikit kesusahan saat di awal soal makanan, lama-lama ya suka-suka saja.  Mungkin terpaksa lebih tepatnya. Oh iya, karena banyak makanan manis, jokes klasik yang sering ditemui yaitu “soalnya orang Jogja manis-manis”. Tapi jokes itu tidak pernah gagal apalagi kalau dibuat gombal ke pasangan asli Jogja. Coba saja, semoga tidak jadi garing ya.
Sebenarnya ada juga perbedaan yang bikin Saya juga jadi cepat beradaptasi di Jogja. Pertama, pengguna jalan yang lebih tertib dibanding di Surabaya. Hal yang paling jelas juga Saya jarang menemukan orang yang bentak-bentak di jalanan. Hal tersebut cukup membuat Saya nyaman berkendara di Yogyakarta. Apalagi Jogja memiliki jalanan yang renggang dan jalanan yang tidak seluas Surabaya. Tapi memang Malioboro menjadi jalanan paling macet se–Jogja. Hadeh. Ya memang karena di Malioboro adalah tempat yang enak buat pejalan kaki, bukan pengendara mobil atau motor.
Perbedaan selanjutnya yaitu soal atmosfer Jogja yang lebih tenang. Wajar memang jika banyak orang yang memilih Jogja sebagai destinasi liburan. Di setiap sudut Jogja bakal membuat kita merasa tenang dan santuy. Suasana “edgy” seperti menikmati kopi kala senja di sebuah kafe yang instagramable juga menambah nikmat buram di Jogja. Selain akan tenang, followers IG kalian juga akan iri dengan imajinasi mereka tentangmu. Bahwa kamu telah menemukan ketenangan di Jogja. Tapi tanya dulu harga kopinya ya, soalnya biasanya mahal. Bukannya tenang menikmati kopi malah pusing besok makan apa, sangking mahalnya. Sebenarnya ya nggak mahal ya, tapi kalau lihat UMR Jogja sepertinya agak aneh aja gitu.  
Meskipun Saya kadang heran dengan perbedaan UMR yang sangat jauh antara di Surabaya dan Jogja. Tapi mereka tetap bisa hidup santuy dan bahagia menikmati hidup. Itulah yang Saya pelajari di Jogja. Jogja yang katanya memiliki sejuta kenangan juga ternyata telah membiusku untuk jatuh cinta dengan segala perbedaan di Surabaya. Meski banyak budaya yang berbeda dan meski awalnya mengalami gegar budaya yang cukup sulit, Jogja memang tetap luar biasa bikin irit.

You May Also Like

1 komentar

  1. Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
    Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
    Yang Ada :
    TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
    Sekedar Nonton Bola ,
    Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
    Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
    Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
    Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
    Website Online 24Jam/Setiap Hariny

    ReplyDelete