Pendidikan Kesehatan Mental Bagi Anak Muda

by - 17:09

Gambar diambil dari Google
Pembahasan yang terkait dengan kesehatan mental akhir-akhir ini menjadi ramai diperbincangkan banyak orang, terutama anak muda. Anak muda yang saya maksud adalah konsep kelompok demografi generasi Z yaitu yang lahir sekitar 1995 ke atas. Anak muda yang sekarang ini tengah menikmati ingar bingar sosial media seperti Instagram dan Twitter, mereka sering kali mengeluhkan atau bahkan memamerkan bagaimana kondisi mental mereka yang sedang tidak baik-baik saja. Bahkan ada fenomena self-diagnose terhadap kesehatan mental mereka sendiri, yang seharusnya dilakukan oleh ahlinya.
Bisa jadi, perbicangan yang begitu banyak di sosial media hanyalah fenomena obrolan biasa. Tapi nyatanya, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar yang dilakukan oleh kementrian kesehatan pada 2018, prevalensi orang gangguan mental jiwa berat (skizofrenia/psikosis) meningkat dari 0,15% menjadi 0,18%, sementara prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk usia 15 tahun kertas meningkat dari 6,1 % pada tahun 2013 menjadi 9,8% pada tahun 2018. Artinya kesehatan mental ini bukan hanya isu sosial, tapi juga fakta sosial tentang bagaimana kondisi kesehatan mental di Indonesia yang mulai buruk.
Waktu itu saya mencoba berdiskusi dengan beberapa teman untuk menjawab mengapa kesehatan mental di Indonesia semakin memburuk. Apa yang salah dari kesehatan mental di Indonesia yang katanya sebagai negara paling bahagia dan murah senyum. Hasil diskusi kami menyatakan jika kemungkinan karena pengaruh sosial media dan budaya di masyarakat. Dimulai dari budaya gender kita yang banyak berpengaruh pada kesehatan mental, misalnya budaya yang mengatakan jika laki-laki harus kuat, laki-laki tidak boleh menangis. Kemudian tambahannya, jika menangis nanti seperti cewek. Apa yang membuat itu menjadi penyebab? Yap, laki-laki selalu dikondisikan sebagai gender yang kuat dan perempuan dikondisikan sebagai gender yang lemah. Jadi, ketika laki-laki menangis itu aneh, perempuan kuat itu aneh. Padahal laki-laki juga memiliki perasaan atau emosi, dimana dia bisa melampiaskan emosi apapun itu termasuk sedih. Sedih, itu emosi yang wajar yang perlu dimiliki untuk menjaga kesehatan mental manusia.  Selain itu, jika amati banyak budaya lain yang menuntut masyarakat kita menjadi manusia-manusia bahagia tanpa boleh bersedih. Bener kan? Coba perhatikan nasehat-nasehat banyak orang ketika kalian sedih.
Budaya yang paling dominan kedua yaitu budaya kompetisi yang sebenarnya mengganggu banyak orang. Tapi karena terbiasa, jadinya malah kita sering diam dan menyetujui budaya itu semakin berkembang. Kita semua dituntut menjadi manusia yang sama, manusia yang bekerja keras untuk uang. Kita dituntut belajar dan bekerja untuk mendapatkan kekayaan, jabatan, hidup enak dll. Padahal kenyataannya setiap orang punya orientasi masa depan, kesukaan, uang, pandangan hidup yang berbeda. Apa yang baik menurut satu orang, belum tentu baik buat orang lain. Pada akhirnya kita dipaksa untuk saling berkompetisi dengan menjegal satu sama lain dan bertingkah individualis. Selain itu, kita dipaksa untuk jadi sama.
Budaya ini yang kemudian bukan hanya berjalan pada ranah offline atau kehidupan nyata, tapi juga marambat ke dunia maya/online. Kehadiran sosial media membuat budaya kompetisi dan ketimpangan gender semakin terlihat dan dinikmati banyak orang secara luas tanpa batasan. Sosial media menciptakan ruang dimana apapun yang membuat manusia terpicu depresi menjadi semakin terlihat jelas di mata. Inilah yang kemudian, membuat banyak orang merasa bahwa sosial media itu seperti racun yang membuat mereka semakin depresi. Coba liat teman sekitar kalian, pasti banyak yang mengatakan hal yang sama jika sosial media itu racun dan beberapa dari mereka bahkan sampai menghapus sosial medianya.  
Penjelasan tentang semakin meningkatnya penyakit mental yang diderita banyak anak muda sekarang, itu sebenarnya juga bisa dijelaskan dengan teori sosial yaitu teori bunuh dirinya Emile Durkheim. Karena salah satu dampak dari penyakit mental ini adalah tindakan bunuh diri. Ada 2 konsep yang bisa ditarik dari teorinya Durkheim, integrasi sosial dan juga struktur sosial. Ketidakmampuan anak muda dalam melakukan integrasi karena ketidakmampuan memfilter nilai dan norma yang masuk membuat mereka merasa terlalu superior ataupun inferior, itulah yang kemudian menciptakan depresi tersendiri. Kemudian juga struktur sosial yang tidak mampu memberikan kenyaman pada individu juga akan berpengaruh pada kondisi mental individu. Artinya jika ditarik kesimpulan, secara struktur, ada masalah budaya/nilai dan norma/struktur sosial di masyarakat yang perlu diperbaiki. Secara individual, kemampuan individu untuk memfilter atau mengelola hasil-hasil infiltrasi dari masyarakat juga perlu ditingkatkan.
Menurut Saya, Pendidikan merupakan langkah awal yang tepat untuk mencegah kesehatan anak muda sekarang agar tidak lebih buruk. Pendidikan kita selama ini sebenarnya sudah memiliki fasilitas yang cukup dengan adanya guru bimbingan konseling (BK) dan juga guru pendamping untuk anak yang berkebutuhan khusus. Pendidikan kita sekarang ini juga sudah didorong untuk melaksanakan sekolah inklusi. Masalahnya, memang penerapannya masih belum maksimal. Jika kita liat tugas guru BK masih banyak yang bertugas sebagai pemberi hukuman, bukan sebagai ahli konseling untuk anak.
Seharusnya peran pendidikan kita dalam kesehatan mental berperan besar dalam tindakan pencegahan. Tindakan pencegahan yang bisa dilakukan yaitu memberikan tentang pemahaman kesehatan mental itu sendiri, karena selama ini kesehatan mental juga dimaknai sempit yaitu hanya soal kegilaan saja. Selain itu yang lebih penting adalah menciptakan kemampuan filter pada murid untuk mampu berintegrasi dan melakukan upaya dekontruksi atas budaya-budaya ataupun nilai dan norma yang memicu depresi ataupun menyebabkan kesehatan mental masyarakat kita semakin memburuk. Misalnya penambahan materi atau mata pelajaran terkait kesehatan mental. Jika ada mata pelajaran kesehatan jasmani kenapa tidak ada pelajaran kesehatan rohani?. Kesehatan Rohani yang saya maksud bukan hanya soal agama, tapi soal pemahaman jiwa dengan lebih ilmiah. Jika pendidikan jasmani juga dipelajari secara keilmuan, kenapa tentang jiwa juga tidak dipelajari secara keilmuan. Jadi pelajaran soal rohani/jiwa bukan hanya soal keyakinan saja.

Selain itu, sebenarnya juga kesehatan mental bisa diselipkan di pelajaran apapun. Misalnya pelajaran menyanyi, jika selama ini semua lagu selalu mengarah pada kebahagiaan, kenapa tidak menciptakan lagu yang memiliki emosi yang seimbang. Sehingga murid mengenal emosi sedih, marah, kecewa. Selain itu, mereka juga mengenal cara menanganinya. 
Pendidikan kita juga perlu menciptakan wadah/ekosistem yang tepat agar murid mampu beradaptasi dengan baik untuk bisa terjun ke masyarakat yang sebenarnya. Selain itu, mereka juga punya gambaran tentang bagaimana struktur yang sehat untuk kesehatan jiwa mereka.

Tindakan penanganan juga perlu dilakukan bagi murid yang sedang sakit. BK harus menjadi pertolongan pertama yang baik bagi murid. Jangan sampai sekolah juga ikut andil dalam mereproduksi stigma tentang kesehatan mental.  Sebenarnya, jika pendidikan kita sudah mulai sadar akan fenomena yang sedang berkembang yaitu kesehatan mental. Maka ke depan, obrolan mengenai kesehatan mental akan berkembang menjadi lebih konstruktif dan secara mental kita juga semakin membaik.

You May Also Like

1 komentar

  1. Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
    Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
    Yang Ada :
    TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
    Sekedar Nonton Bola ,
    Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
    Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
    Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
    Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
    Website Online 24Jam/Setiap Hariny

    ReplyDelete