Anteposterior

(n) Tempat Dimana Dapat Berbagi Pikiran Dan Perasaan



Pernah tidak anda menyadari jika selama ini dalam percakapan (terutama orang baru) saya selalu mendominasi percakapan? Atau mungkin bahasanya kepo?
Saya bertanya terlalu dalam mungkin?
Atau bertanya hal-hal yang sebenarnya jarang ditanyakan?
Yup, saya sebenarnya sedang melakukan eksperimen sosial mengenai bagaimana interaksi seseorang dalam percakapan. Objek penelitiannya bisa cewek atau cowok, berumur diatas atau dibawah saya, mulai dari yang pendiem sampai yang banyak tingkah. Percakapan kebanyakan dilakukan ofline atau langsung, beberapa online.

Alasan
Pertama, berawal dari teori interaksionalisme simbolik yang menjelaskan bagaimana sebenarnya di setiap interaksi kita terdapat “simbol-simbol”. saya berupaya memecahkan kode-kode atau simbol-simbol tersebut guna sebagai ilmu kita bersama dalam berinteraksi. Biar peka katanya. Kedua, teori dramaturgi yang menjelaskan bagaimana sebenarnya seorang individu ketika berinteraksi cenderung melakukan permainan peran seperti berdrama di panggung. Pasti pernah kita merasakan ada orang yang didepan manis ternyata dibelakangnya busuk. Atau sebaliknya. Kita tidak pernah tau hati seseorang karena semua orang berupaya memainkan peran dan memiliki citra sebagai pakaian atraksi mereka. Maka dari itu saya berupaya membongkar itu.

Ketiga, pertemuan kita kepada seseorang dapat menjadi pembelajaran yang bisa kita petik untuk kehidupan kita. pelajaran tersebut mungkin tidak dapat kita dapatkan dalam kehidupan saya atau belum kita dapatkan. Sehingga pelajaran tersebut akan sangat bagi kita melangkah kedepan. Dan saya harap point-point hasil yang sudah saya petik dapat menjadi pembelajaran bagi kita semua.

Hasil: Topik Pembicaraan
Ketika saya melakukan pembicaraan, saya berupaya memancing dengan topik-topik dalam tataran dangkal, sedang, dalam. saya tidak dapat membuat rincihan di setiap varian topik yang saya coba golongkan. Karena setiap orang berbeda. orang yang pendiam cenderung sulit untuk diajak ke pembicaraan yang sifatnya dalam. konsep dalam yang saya maksud adalah mereka dapat bercerita begitu banya, natural dan menceritakan isi hati atau pemikiran mereka yang jarang diketahui orang atau di share. Berbeda halnya dengan orang terbuka yang dalam tataran pendiem itu sudah cukup dalam, bahkan mungkin bagi orang yang terbuka itu masih pertanyaan dangkal. Artinya bahwa tingkat kedalam suatu percakapan setiap orang berbeda.

Kemudian topik-topik pembicaraan yang menarik selalu berkaitan dengan jodoh (untuk individu yang belum menikah). Mereka selalu tertawa atau tersenyum dahulu sebelum dibahas. Topik ini juga bisa menjadi topik yang cukup dalam bisa digali baik untuk yang sudah kenal lama atau baru kenal. Pembicaraan tentang jodoh atau pacar atau gebetan selalu menjadi yang menarik.

Topik mengenai cita-cita selalu menajdi topik yang tidak menarik karena kebanyakan orang terutama semakin dewasa, mereka justru bingung dengan cita-cita. Konsep mengenai cita-cita sepertinya sudah berubah pada konsep impian atau keinginan. Saya selalu tertarik dengan orang-orang yang bercerita soal cita-cita atau bolehlah keinginan atau mimpi. Terkadang mereka sangat mendominasi dalam percakapan. Saya sempat mengambil kesimpulan atau mungkin judge (meskipun dalam sosiologi sebenarnya tidak boleh)kepada setiap orang yang mengetahui cita-cita atau passion adalah orang-orang yang idealis, kadang perfectionist, berani, berkarakter, tegas. Dan yang masih bingung terkadang sangat realistis atau pragmatis, pemikir, kurang percaya diri. Kurang lebih seperti itu, mskipun sebenarnya bukan ranahnya sosiologi tapi saya sedikit bisa mengetahui kepribadian seseorang ,melalui cita-cita. Atau mungkin bisa juga diketahui kondisi sosial individu tersebut, seperti orang yang punya cita-cita mungkin dalam dalam kondisi sosial yang memiliki orientasi masa depan yang tinggi, pendidikan yang tinggi, intensitas mobilitas vertikal yang cukup tinggi. Tapi saya rasa itu belum tentu juga. Sepertinya pola ini seperti teori bunuh diri Emile Dhurkheim. Maksud saya terkait konsep integrasi dan regulasi dalam masyarakat.

Topik-topik sentimen (emosional) adalah topik yang sebenarnya bisa bertahan lama. Maksud saya topik semacam itu akan membekas dan menjadi hal yang menandai percakapan anda dengan individu A, atau B, atau C. Percakapan tentang keluarga, pengalaman kesedihan dan lain-lain merupakan percakapan yang sebenarnya cukup dalam dan mampu menguras perasaan dan kemudian mengena di setiap percakapan.

Topik-topik berat seperti politik, ekonomi, hukum, HAM merupakan topik-topik yang dihindari oleh sebagian orang, karena akan terkesan sangat serius dan membosankan. Namun, jika orang tersebut memang mempunyai kapasitas untuk membicarakan hal tersebut makan akan sangat menarik dalam percakapan.

Seperti itulah kira-kira kesimpulan yang saya dapatkan dari eksperimen sosial saya dalam tema topik pembicaraan. Nanti saya akan tulis mengenai pembatasan jarak komunikasi dalam percakapan.


Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Doa Bulan Juni




Aku harap kamu begitu mencintai laut sampai kamu tenggelam di dalamnya,
atau,
begitu mencintai pisau, sampai kamu terluka karenanya.
Sayang nurani ku tak pernah mengharap itu.
Meski kita tau perlakuanmu demikian!!
.
.
Semoga bahagia.

-Oktavimega Yoga Guntaradewa-


Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar

Gambar diambil dari google
Sepertinya dia terlalu sibuk duduk dan menatap kursi kosong di depan
Dia lupa berada di sebelah jendela
Meskipun begitu, terlalu cepat, dia tak bisa menikmati
Harusnya dia turun dan berjalan
Sembari mengamati, atau mengikuti

Apa dia merugi?
Bukankah setiap orang punya jalan masing-masing?
Bukankah setiap orang punya tiketnya masing-masing?

Dia sepertinya iri, pada orang yang berani turun bukan dijalannya
Tapi mungkin tidak
Orang yang menikmati jalannya lebih mendamaikan
Namun orang yang gelisah pada perjalannya adalah yang lebih kasihan

Selama perjalanan dia mempelajari banyak
Meskipun dia lambat, dia benar belajar

Investor mungkin bilang dia tak berpotensi
Kebanyakan orang mencaci
Perusahaan yang mau menerimanya mungkin ragu
Tapi dia memberi garansi kepada mereka tak kan rugi


Ketika dia sudah pada tujuannya, sejarah yang akan mengatakan pada mereka.


09-10-2017
-Yogantarawa-
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar


Nasionalisme Dan Religiusitas
Indonesia merupakan salah satu negara yang beruntung memiliki banyak sekali keberagaman. Keragaman dan kemajemukan suku, budaya, etnik dan perbedaan yang lainya yang terdapat di Indonesia merupakan sesuatu yang sulit ditemukan di kawasan dunia lain. Dari barat ke timur bangsa ini memiliki lebih dari 17.508 yang tersebar dan membentang sepanjang 5000 km dengan bahasa, suku, agama, tradisi kepercayaan , budaya, adat istiadat, tingkat ekonomi, dan tatanan sosial yang berbeda-beda (Jakarta, Madia : 2001).
Jika negara lain memiliki banyak masalah mengenai perbedaan, Indonesia justru mampu bersatu dan merdeka dari keberagamaan itu. Hal itu menjadi pengalaman bangsa Indonesia sejak awal. Setelah melepaskan dari kolonialisme Belanda dan Jepang, tidak mudah bagi Indonesia untuk merumuskan norma dasar hidup berbangsanya. Tantangan internal terbesar Indonesia sejak awal adalah masalah pluralitas. Prof. John A. Titaley mengatakan bahwa pluralitas masyarakat Indonesia merupakan suatu tantangan (walau sekaligus peluang) yang jarang sekali terjadi dalam sejarah umat manusia, terutama dari segi keagamaan[1].
Senada dengan Titaley, Prof. Franz Magnis Suseno mengajukan pertanyaan retorik demikian: adakah bangsa lain dengan struktur geografis, budaya, dan keagamaan yang sekompleks kita di Indonesia?[2]. Kompleksitas kemajemukan yang diungkapkan keduanya bukan ilusi. Indonesia merupakan pusat persemaian dan penyerbukan silang budaya, yang mengembangkan berbagai corak kebudayaan yang lebih banyak dibandingkan dengan kawasan Asia mana pun[3]. Inilah yang membuat Indonesia sejak awal menghadapi tantangan yang khas dalam rangka menjadi sebuah negara hukum modern.
Persatuan dari perbedaan yang ada di Indonesia akhirnya menciptakan nasionalisme yang terus membara pada saat perjuangan kemerdekaan. Nasionalisme menjadi semangat bangsa untuk bersatu memperjuangkan kemerdekaan. Semangat nasionalisme menjadi penting sebagai ideologi,  karena nasionalisme dapat memainkan tiga fungsi, yaitu mengikat semua kelas, menyatukan mentalitas mereka, dan membangun atau memperkokoh pengaruh terhadap kebijakan yang ada di dalam kursi utama ideologi nasional[4].
            Pembentukan Pancasila merupakan hasil dari semangat nasionalisme bangsa Indonesia. Perbedaan mengenai agama bukanlah penghalang bagi bangsa untuk melakukan diskusi terbuka, berdebat, tetapi saling mendengar dan masing masing pihak bersedia mentransformasi dan memperluas pandangan keagamaannya. Ini merupakan sikap nasionalisme yang dibalut dengan religiusitas yang tinggi mengenai toleransi beragama.

Penetapan sila pertama dalam Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan peristiwa yang bersejarah dan merupakan dasar bagi bangsa Indonesia dalam berbangsa. Hasil dari Undang-Undang Dasar 1945 ayat 29 mengenai jaminan negara terhadap semua agama juga meruapakan sejarah penting yang harus dibuat pelajaran. Keduanya bukan sekedar kompromi politik, melainkan sesuatu yang lahir dari deliberasi (diskursus) rasional para pemeluk agama-agama yang ada di nusantara untuk beragama secara khas Indonesia.

Sukarno pernah mengatakan bahwa perlawanan bangsa Indonesia akan semakin berat karena harus melawan bangsanya sendiri. Masalahnya sekarang ini, konflik horizontal mengenai perbedaan agama sering sekali terjadi seperti Ambon, Papua, dan Maluku, Poso, Sumatra Utara atau dewasa ini konflik soal Ahok. Konflik keagamaan menjadi sangat berbahaya karena konflik agama selalu ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan ekonomi ataupun politik. Hal demikian juga akan menciptakan disintegrasi yang akhirnya menciptakan perpecahan atau lebih ekstrim bubarnya negara. Masalah demikian menjadi masalah sekaligus tantangan yang serius bagi bangsa Indonesia untuk mampu belajar dari masa lalu dan menyelesaikan permasalahan mengenai konflik keagamaan.

Solusi Toleransi Umat Beragama
Toleransi secara arti adalah suatu perilaku atau sikap manusia yang tidak menyimpang dari aturan, dimana seseorang menghormati atau menghargai setiap tindakan yang dilakukan orang lain. Keberagaman agama yang ada di Indonesia sudah sejak dulu membuat bangsa Indonesia menjadi toleran yang paling tinggi. Namun kini yang dihadapi adalah konflik horizontal berkepanjangan yang sangat merusak dan mengancam kesatuan negara.
Konflik horizontal mengenai agama di Indonesia persoalannya sangat kompleks. Sekarang ini persoalannya bukan hanya seperti apa yang terjadi di Poso atau Maluku tapi sudah menjalar ke masyarakat digital. Konflik mengenai Ahok sangatlah membuat prihatin, karena konflik yang terjadi begitu keras di sosial media atau di dunia maya. Sebenarnya persoalan mengenai konflik agama bukan murni persoalan agama. Tapi ada oknum-oknum yang sengaja menunggani unsur-unsur SARA untuk membuat masyarakat saling berkonflik. Dan sayangnya, masyarakat Indonesia mudah sekali tersulut api jika persoalannya tentang agama. Agama di Indonesia menjadi dasar yang kuat dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Solusi yang dapat ditawarkan adalah membangun semangat nasionalisme dengan asas religiusitas melalui pendidikan atau sosialisasi primer ataupun sekunder. Seperti yang sudah dijelaskan, bangsa Indonesia dulu pernah berjaya dan bersatu karena semangat nasionalisme dan religiusitas. Perubahan memang terjadi, tapi sejarah Indonesia perlu dipelajari untuk masa depan Indonesia.
Konsep nasionalisme yang berasas religiusitas pernah diimplementasikan oleh guru bangsa Indonesia H.O.S. Cokroaminoto. Beliau mengatakan pertama, pendidikan harus berdasarkan pada sumber Islam yakni al-Qur‟an dan al-Hadits. kedua, tujuan pendidikan kebangsaan yang ingin dicapai menurut H.O.S. Cokroaminoto adalah untuk menjadikan anak didik sebagai seorang muslim yang sejati dan sekaligus menjadi seorang nasionalis yang berjiwa besar penuh kepercayaan kepada diri sendiri. ketiga, prinsip pendidikan kebangsaan yang dikehendaki oleh H.O.S. Cokroaminoto adalah cinta tanah air yaitu sekuat tenaga mengadakan pendidikan untuk menanamkan perasaan kebangsaan; memiliki keberanian yaitu selalu menanamkan rasa keberanian terutama jihad (bekerja keras mempropagandakan dan melindungi Islam) karena hal itu termasuk bagian dari iman; dan menanamkan sifat kemandirian, maksudnya setiap orang harus berusaha dengan sungguh-sungguh dan pantang memakan hasil pekerjaan orang lain dan mampu mandiri tidak menggantungkan kepada orang lain (Cokroaminoto, 1955: 48).
Inti dari konsep dan praktik yang dilakukan oleh H.O.S. Cokroaminoto sebenarnya adalah Religiusitas agama membawa kepada spiritualitas rohani yang menentukan emosi atau pengelolahan hati manusia dalam bertindak. Religiusitas menciptakan semangat nasionalisme dan persatuan bagi bangsa.
Selanjutnya, setelah pendidikan atau sosialisasi sudah dilakukan maka dialog atau komunikasi keagamaan perlu dilakukan untuk dapat melakukan silahturahmi dan diskusi mengenai SARA yang bersifat konstruktif dan positif. Konsep dialog agama adalah pemikiran dasar yang digunakan sebagai pedoman dalam bermusyawarah oleh umat manusia untuk menyelesaikan permasalahan kehidupan sehari-hari, baik secara personal maupun komunal, secara spontanitas ataupun terprogram yang ada dalam internal maupun eksternal agama. Lebih luas lagi mencakup permasalahan seluruh agama yang bertujuan untuk menciptakan kerukunan serta menyatukan umat manusia dalam wadah agama yang berbeda. Serta tidak memaksakan kehendak agama yang satu kepada agama yang lainnya.
Muhammad Ali menjelaskan beberapa sikap yang perlu dipegang dalam suatu dialog kitab suci sebagi berikut pertama adalah sikap mengakui perbedaan pemahaman terhadap kitab suci orang lain. Kedua yaitu menghargai perbedaan pemahaman terhadap kitab suci dalam agama tertentu. Ketiga yaitu jangan berdebad usir. Dialog dan diskusi harus dilakukan dengan cara yang paling baik dan paling tepat. Tidak ada penghujatan, pengkafiran, pelabelan setan, terhadap intra dialog dan teological judgment lain yang tidak berdasarkan ilmu pengetahuan[5].
Pelaksanaan dialog antar agama ada tujuan yang ingin dicapai, minimal ada dua hal penting yang didapatkan dari dialog. Pertama, terkikisnya kesalah pahaman yang bersumber dari adanya perbedaan bahasa dari masing-masing agama. kedua, dialog dimaksudkan guna mencari respon yang sama terhadap semua tantangan yang dihadapi oleh agama[6].
Teori dan praktik harus seimbang sebagai solusi. Konsep nasionalisme dan religiusitas dalam pendidikan atau sosialisasi yang dilakukan menjadi dasar nilai dan norma bangsa Indonesia. Tindakan yang dilakukan haruslah mencerminkan sikap toleransi umat beragama. Praktik dialog harus dilakukan sebagai sarana interaksi.  Keberagaman agama yang ada di Indonesia haruslah menjadi berkah bukan menjadi bencana.





[1]. John A. Titaley, Religiositas di Alinea Tiga: Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi Agama-Agama, (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2013), 43
[2] . Franz Magnis-Suseno, Berebut Jiwa Bangsa: Dialog, Perdamaian, dan Persaudaraan, (Jakarta: Kompas, 2007), 229
[3]. Oppenheimer dalam kutipan Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, (Jakarta: Gramedia, 2011), 3
[4] R. Karim, Nasionalisme Arti dan sejarahnya, Analisis CSIS, Tahun XXV Tahun 2, 1996, h. 95-108.
[5] Muhammad Ali, Teologi Pluralis Multikultural: Menghargai Kemajemukan, Menjalin Kebersamaan, (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2003), h. 186. 
[6] Ibid, h. 138-139.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

About Me

Yoga Dewa

(Sociologist)

Focus on Community Development, Education, New Social Movement

Instagram: @Yogantarawa

Labels

  • CERPEN
  • MY ART
  • OPINI
  • Puisi
  • REKOMENDASI
  • TIPS AND TRICK

recent posts

Sponsor

Flag Counter

Blog Archive

  • ►  2023 (1)
    • ►  October (1)
  • ►  2020 (6)
    • ►  May (3)
    • ►  February (1)
    • ►  January (2)
  • ►  2019 (22)
    • ►  December (1)
    • ►  September (6)
    • ►  August (4)
    • ►  June (1)
    • ►  May (1)
    • ►  March (3)
    • ►  February (5)
    • ►  January (1)
  • ►  2018 (4)
    • ►  December (1)
    • ►  February (2)
    • ►  January (1)
  • ▼  2017 (16)
    • ►  November (1)
    • ▼  October (4)
      • Eksperiman Sosial (Part1): Topik Pembicaraan
      • Sebuah Puisi: Doa Bulan Juni
      • Proses Perjalanan Sang Pembelajar
      • Opini: Pendidikan Nasionalisme Bernafaskan Religiu...
    • ►  September (1)
    • ►  July (2)
    • ►  May (5)
    • ►  February (1)
    • ►  January (2)
  • ►  2016 (27)
    • ►  August (1)
    • ►  July (3)
    • ►  June (9)
    • ►  May (2)
    • ►  April (2)
    • ►  March (2)
    • ►  February (3)
    • ►  January (5)
  • ►  2015 (8)
    • ►  December (7)
    • ►  October (1)
  • ►  2014 (11)
    • ►  August (2)
    • ►  July (4)
    • ►  June (5)

Created with by BeautyTemplates| Distributed By Gooyaabi Templates