Opini: Pendidikan Nasionalisme Bernafaskan Religiusitas Sebagai Solusi Toleransi Umat Beragama

by - 17:30



Nasionalisme Dan Religiusitas
Indonesia merupakan salah satu negara yang beruntung memiliki banyak sekali keberagaman. Keragaman dan kemajemukan suku, budaya, etnik dan perbedaan yang lainya yang terdapat di Indonesia merupakan sesuatu yang sulit ditemukan di kawasan dunia lain. Dari barat ke timur bangsa ini memiliki lebih dari 17.508 yang tersebar dan membentang sepanjang 5000 km dengan bahasa, suku, agama, tradisi kepercayaan , budaya, adat istiadat, tingkat ekonomi, dan tatanan sosial yang berbeda-beda (Jakarta, Madia : 2001).
Jika negara lain memiliki banyak masalah mengenai perbedaan, Indonesia justru mampu bersatu dan merdeka dari keberagamaan itu. Hal itu menjadi pengalaman bangsa Indonesia sejak awal. Setelah melepaskan dari kolonialisme Belanda dan Jepang, tidak mudah bagi Indonesia untuk merumuskan norma dasar hidup berbangsanya. Tantangan internal terbesar Indonesia sejak awal adalah masalah pluralitas. Prof. John A. Titaley mengatakan bahwa pluralitas masyarakat Indonesia merupakan suatu tantangan (walau sekaligus peluang) yang jarang sekali terjadi dalam sejarah umat manusia, terutama dari segi keagamaan[1].
Senada dengan Titaley, Prof. Franz Magnis Suseno mengajukan pertanyaan retorik demikian: adakah bangsa lain dengan struktur geografis, budaya, dan keagamaan yang sekompleks kita di Indonesia?[2]. Kompleksitas kemajemukan yang diungkapkan keduanya bukan ilusi. Indonesia merupakan pusat persemaian dan penyerbukan silang budaya, yang mengembangkan berbagai corak kebudayaan yang lebih banyak dibandingkan dengan kawasan Asia mana pun[3]. Inilah yang membuat Indonesia sejak awal menghadapi tantangan yang khas dalam rangka menjadi sebuah negara hukum modern.
Persatuan dari perbedaan yang ada di Indonesia akhirnya menciptakan nasionalisme yang terus membara pada saat perjuangan kemerdekaan. Nasionalisme menjadi semangat bangsa untuk bersatu memperjuangkan kemerdekaan. Semangat nasionalisme menjadi penting sebagai ideologi,  karena nasionalisme dapat memainkan tiga fungsi, yaitu mengikat semua kelas, menyatukan mentalitas mereka, dan membangun atau memperkokoh pengaruh terhadap kebijakan yang ada di dalam kursi utama ideologi nasional[4].
            Pembentukan Pancasila merupakan hasil dari semangat nasionalisme bangsa Indonesia. Perbedaan mengenai agama bukanlah penghalang bagi bangsa untuk melakukan diskusi terbuka, berdebat, tetapi saling mendengar dan masing masing pihak bersedia mentransformasi dan memperluas pandangan keagamaannya. Ini merupakan sikap nasionalisme yang dibalut dengan religiusitas yang tinggi mengenai toleransi beragama.

Penetapan sila pertama dalam Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan peristiwa yang bersejarah dan merupakan dasar bagi bangsa Indonesia dalam berbangsa. Hasil dari Undang-Undang Dasar 1945 ayat 29 mengenai jaminan negara terhadap semua agama juga meruapakan sejarah penting yang harus dibuat pelajaran. Keduanya bukan sekedar kompromi politik, melainkan sesuatu yang lahir dari deliberasi (diskursus) rasional para pemeluk agama-agama yang ada di nusantara untuk beragama secara khas Indonesia.

Sukarno pernah mengatakan bahwa perlawanan bangsa Indonesia akan semakin berat karena harus melawan bangsanya sendiri. Masalahnya sekarang ini, konflik horizontal mengenai perbedaan agama sering sekali terjadi seperti Ambon, Papua, dan Maluku, Poso, Sumatra Utara atau dewasa ini konflik soal Ahok. Konflik keagamaan menjadi sangat berbahaya karena konflik agama selalu ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan ekonomi ataupun politik. Hal demikian juga akan menciptakan disintegrasi yang akhirnya menciptakan perpecahan atau lebih ekstrim bubarnya negara. Masalah demikian menjadi masalah sekaligus tantangan yang serius bagi bangsa Indonesia untuk mampu belajar dari masa lalu dan menyelesaikan permasalahan mengenai konflik keagamaan.

Solusi Toleransi Umat Beragama
Toleransi secara arti adalah suatu perilaku atau sikap manusia yang tidak menyimpang dari aturan, dimana seseorang menghormati atau menghargai setiap tindakan yang dilakukan orang lain. Keberagaman agama yang ada di Indonesia sudah sejak dulu membuat bangsa Indonesia menjadi toleran yang paling tinggi. Namun kini yang dihadapi adalah konflik horizontal berkepanjangan yang sangat merusak dan mengancam kesatuan negara.
Konflik horizontal mengenai agama di Indonesia persoalannya sangat kompleks. Sekarang ini persoalannya bukan hanya seperti apa yang terjadi di Poso atau Maluku tapi sudah menjalar ke masyarakat digital. Konflik mengenai Ahok sangatlah membuat prihatin, karena konflik yang terjadi begitu keras di sosial media atau di dunia maya. Sebenarnya persoalan mengenai konflik agama bukan murni persoalan agama. Tapi ada oknum-oknum yang sengaja menunggani unsur-unsur SARA untuk membuat masyarakat saling berkonflik. Dan sayangnya, masyarakat Indonesia mudah sekali tersulut api jika persoalannya tentang agama. Agama di Indonesia menjadi dasar yang kuat dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Solusi yang dapat ditawarkan adalah membangun semangat nasionalisme dengan asas religiusitas melalui pendidikan atau sosialisasi primer ataupun sekunder. Seperti yang sudah dijelaskan, bangsa Indonesia dulu pernah berjaya dan bersatu karena semangat nasionalisme dan religiusitas. Perubahan memang terjadi, tapi sejarah Indonesia perlu dipelajari untuk masa depan Indonesia.
Konsep nasionalisme yang berasas religiusitas pernah diimplementasikan oleh guru bangsa Indonesia H.O.S. Cokroaminoto. Beliau mengatakan pertama, pendidikan harus berdasarkan pada sumber Islam yakni al-Qur‟an dan al-Hadits. kedua, tujuan pendidikan kebangsaan yang ingin dicapai menurut H.O.S. Cokroaminoto adalah untuk menjadikan anak didik sebagai seorang muslim yang sejati dan sekaligus menjadi seorang nasionalis yang berjiwa besar penuh kepercayaan kepada diri sendiri. ketiga, prinsip pendidikan kebangsaan yang dikehendaki oleh H.O.S. Cokroaminoto adalah cinta tanah air yaitu sekuat tenaga mengadakan pendidikan untuk menanamkan perasaan kebangsaan; memiliki keberanian yaitu selalu menanamkan rasa keberanian terutama jihad (bekerja keras mempropagandakan dan melindungi Islam) karena hal itu termasuk bagian dari iman; dan menanamkan sifat kemandirian, maksudnya setiap orang harus berusaha dengan sungguh-sungguh dan pantang memakan hasil pekerjaan orang lain dan mampu mandiri tidak menggantungkan kepada orang lain (Cokroaminoto, 1955: 48).
Inti dari konsep dan praktik yang dilakukan oleh H.O.S. Cokroaminoto sebenarnya adalah Religiusitas agama membawa kepada spiritualitas rohani yang menentukan emosi atau pengelolahan hati manusia dalam bertindak. Religiusitas menciptakan semangat nasionalisme dan persatuan bagi bangsa.
Selanjutnya, setelah pendidikan atau sosialisasi sudah dilakukan maka dialog atau komunikasi keagamaan perlu dilakukan untuk dapat melakukan silahturahmi dan diskusi mengenai SARA yang bersifat konstruktif dan positif. Konsep dialog agama adalah pemikiran dasar yang digunakan sebagai pedoman dalam bermusyawarah oleh umat manusia untuk menyelesaikan permasalahan kehidupan sehari-hari, baik secara personal maupun komunal, secara spontanitas ataupun terprogram yang ada dalam internal maupun eksternal agama. Lebih luas lagi mencakup permasalahan seluruh agama yang bertujuan untuk menciptakan kerukunan serta menyatukan umat manusia dalam wadah agama yang berbeda. Serta tidak memaksakan kehendak agama yang satu kepada agama yang lainnya.
Muhammad Ali menjelaskan beberapa sikap yang perlu dipegang dalam suatu dialog kitab suci sebagi berikut pertama adalah sikap mengakui perbedaan pemahaman terhadap kitab suci orang lain. Kedua yaitu menghargai perbedaan pemahaman terhadap kitab suci dalam agama tertentu. Ketiga yaitu jangan berdebad usir. Dialog dan diskusi harus dilakukan dengan cara yang paling baik dan paling tepat. Tidak ada penghujatan, pengkafiran, pelabelan setan, terhadap intra dialog dan teological judgment lain yang tidak berdasarkan ilmu pengetahuan[5].
Pelaksanaan dialog antar agama ada tujuan yang ingin dicapai, minimal ada dua hal penting yang didapatkan dari dialog. Pertama, terkikisnya kesalah pahaman yang bersumber dari adanya perbedaan bahasa dari masing-masing agama. kedua, dialog dimaksudkan guna mencari respon yang sama terhadap semua tantangan yang dihadapi oleh agama[6].
Teori dan praktik harus seimbang sebagai solusi. Konsep nasionalisme dan religiusitas dalam pendidikan atau sosialisasi yang dilakukan menjadi dasar nilai dan norma bangsa Indonesia. Tindakan yang dilakukan haruslah mencerminkan sikap toleransi umat beragama. Praktik dialog harus dilakukan sebagai sarana interaksi.  Keberagaman agama yang ada di Indonesia haruslah menjadi berkah bukan menjadi bencana.





[1]. John A. Titaley, Religiositas di Alinea Tiga: Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi Agama-Agama, (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2013), 43
[2] . Franz Magnis-Suseno, Berebut Jiwa Bangsa: Dialog, Perdamaian, dan Persaudaraan, (Jakarta: Kompas, 2007), 229
[3]. Oppenheimer dalam kutipan Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, (Jakarta: Gramedia, 2011), 3
[4] R. Karim, Nasionalisme Arti dan sejarahnya, Analisis CSIS, Tahun XXV Tahun 2, 1996, h. 95-108.
[5] Muhammad Ali, Teologi Pluralis Multikultural: Menghargai Kemajemukan, Menjalin Kebersamaan, (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2003), h. 186. 
[6] Ibid, h. 138-139.

You May Also Like

0 komentar