Anteposterior

(n) Tempat Dimana Dapat Berbagi Pikiran Dan Perasaan

Pict from Google
As social science student, we all agree that social science is not as simple as we used to think. In fact, learning that is needed persistence and hard work. Conceive that we have to comprehend the concept one by one, elaborate the theory, operating Statistical Product and Service Solutions (SPSS), learning many fields in society, speak with “aliens’s words” (words that normal people would not understand). I know it’s hard. So here I will give you tips how to build good habit that will enrich your knowledge and foster your skill in social science.
First, read. Read anything (re: all medium). In my perspective, read has a lot of meaning. It’s just not about read book but something that you can absorb many information. I divide “read” into two types, material and non-material. For material, You can read books, watch videos, and maybe listen podcast. Be careful, you don’t have to “read” it all. Choose based on what you like, what is most recommended, what you need, what you think is important. For non material, try to walk around and find a phenomenon that disturbs your mind. It is because you think it will be interesting to explain “why”. Also, you can try to look around and find a new reality in society.  Something that is different, weird, strange, beyond normal, or difficult to understand to you. Read non material things will lead you from sympathy to empathy level. Also, you will cultivate your sensitive feelings to catch problems.

When I mentioned "Reading skill", It does not mean that you are just capable to read. But also, you have to comprehend. Earn something from what you have red. Then process it in your mind and don’t forget to click save it lol.
Reading as a habit has function to input new information. Collect as many as you can. I mean good information though.
Second, discussion. It has a function to train your dialectical thinking and foster your critical thinking. Also, it will exercise your logical thinking from making arguments. Discussion will bump your ideas and make it stronger than before. Such a “sharpening a knife”. Discussion is a process of digesting ideas or information that you get from “reading”. As the result, you will get many choices of steps and plans to take.
The obstacle for doing this is to find a person who likes to discuss about same topic that you interest.
Third, action. Action also has a lot of meaning to me. I suggest two choices. First, writing (article, journals, research, report, etc). Writing is an indirect action that will change people mind. Second,  movement or social action. It is a direct action that will change people (overall). Action is the way to output ideas into something beneficial for society. It is actually need a big intention. Also, need a good skill to do. That is why, always try to evaluate this habit to make proper action and get impact.
Closing statement, these are the way that I thought is the proper habit for being social science student. I actually late to realize, that these things are very important to do balance. I always have many excuses to not do these habits when I was being collage student. And now I’m a bit regret it. I hope all these things will help you to learn social science effectively. These all are learning process, so don’t get tired or surrender. Remember! Learning does not have a finish, but it always goes on.
Writer: Oktavimega Yoga Guntaradewa
IG: @Yogantarawa
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Gambar dari Google

Perbincangan mengenai pendidikan, sepertinya bukan menjadi perbincangan yang menarik sekarang ini. Dalam bidang politik, para elit politik pun jarang memberikan narasi-narasi seputar pendidikan. soal kebijakan pendidikan pun sepertinya tak banyak kecuali soal kenaikan gaji guru, meskipun sebenarnya bagi saya itu sangat politis. Di media, sebenarnya sudah banyak yang memiliki kanal atau rubrik khusus terkait pendidikan. Meski begitu kanal pendidikan selalu tak lebih menarik daripada kanal politik elektoral, ekonomi, hiburan. Dalam perbincangan di ruang publik, saya rasa bahas bola, musik, apapun yang bersifat kesenangan atau hiburan adalah lebih menarik dibandingan ngomongin pendidikan.
Tapi kan bukan berarti semua orang tidak peduli tentang pendidikan? atau semua tidak mungkin juga semua orang diminta bahas pendidikan terus menerus? iya, tidak memang. Tapi, narasi atau dealektika kita tentang pendidikan masihlah jauh dari harapan. Hal tersebut jika terus saja terjadi dan kita diamkan, maka tak ada ada lagi gagasan baru, kritik yang membangun, kepedulian terhadap pendidikan. Jika semua orang tak pernah membahas pendidikan, maka jangan tanya jika suatu hari kualitas pendidikan kita turun.  Kemudian berdampak pada semakin ruwetnya permasalahan ekonomi, lingkungan, budaya, politik, sosial. Mungkin akan terlihat sepele. Tapi jika tak pernah dimulai, maka narasi yang muncul di publik hanyalah hal-hal negatif atau hal tidak penting lainnya.
Mengapa bisa begitu?
Gini.
Beberapa orang tua, “mempercayakan” pendidikan anaknya di tempat les dan sekolah. Orang tua hanya “percaya” tanpa pernah bertanya tentang pendidikan anaknya ke sekolah ataupun ke tempat les. Semua ataupun istri hampir tidak pernah membahas mengenai pendidikan anak, sama tetangga pun demikian. Akhirnya pendidikan bagi orangtua tak lagi penting. Hal yang paling penting adalah bagaimana caranya mengumpulkan banyak uang untuk pendidikan anaknya.  Oke mencari uang untuk pendidikan anak itu penting, tapi bagaimana pendidikan itu dibicarakan dalam lingkungan keluarga ataupun masyarakat juga sama pentingnya. Mengapa? Bayangkan saja semisal anak tidak suka matematika tapi ibunya selalu memaksakan les matematika. Waktu pembagian rapor marah ketika anak tidak mendapatkan nilai baik di pelajaran yang juga dipelajari di tempat les. Orangtua merasa rugi dan biasanya berakhir pada “judgement” bahwa anaknya bodoh. Padahal anak tersebut memiliki kekuatan di mata pejaran seni misalnya. Itu adalah efek mikro ketika kita tak pernah membicarakan pendidikan di ruang-ruang publik.
Dalam tataran makro misalnya, ketika ada kebijakan dari pemerintah yang membuat sekolah semakin mengupayakan “dehumanisasi pendidikan”. Kemudian tak ada dealektika yang berkembang di masyarakat, tak ada kritik, semua diam. Maka pemerintah akan merasa kebijakannya sudah benar dan kebijakan yang dirasa buruk tersebut akan terus dilaksanakan. Inilah yang berbahaya, ketika dampaknya adalah secara makro.  Nasib banyak orang dipertaruhkan. Para elit harusnya paham dampak apa yang mereka timbulkan ketika tidak mengkritik atau melakukan otokritik terhadap dunia pendidikan.
Kemudian apa yang harus dilakukan?
Membiasakan memberikan argumentasi di banyak ruang-ruang (ruang keluarga, sekolah, kampus, masyarakat, dll). Membangun banyak narasi-narasi yang memperjuangkan pendidikan. Baca dan kritisi kebijakan pendidikan. Praktek dan refleksi solusi tentang pendidkan. Dealektika dalam ruang-ruang publik harus terus dibudayakan. Secara mikro bisa dilakukan dalam lingkup keluarga, secara makro pemerintah bisa memberikan ruang untuk mendiskusikan solusi dari masyarakat agar kedepan menjadi perbaikan untuk pendidikan di Indonesia. Ruang publik dalam membahas pendidikan tidak boleh ada sentimen terhadap gender, umur, SARA. Ruang-ruang yang tercipta haruslah sangat demokratis. Diskusi yang tercipta adalah hasil dari sebuah dialogis yang substansial.
Dalam tataran kebijakan, ruang publik yang membahas pendidikan haruslah difasilitasi oleh pemerintah baik secara offline ataupun online. Harus ada “obrolan” antara pemerintah, gerakan sosial di bidang pendidikan, swasta, akademisi, masyarakat. Misalnya saja pemerintah membuat forum diskusi tentang pendidikan yang dihadiri oleh para aktivis atau praktisi pendidikan di daerah-daerah pelosok untuk menjaring aspirasi yang "nyata". Diskusi tersebut diharapkan mampu memberikan “trigger” untuk saling berkalaborasi dan kerjasama. Banyak individu atau kelompok masyarakat yang bergerak di bidang pendidikan saling berdiri sendiri dan mencari audience relawan masing-masing. hal yang saya khawatirkan adalah semakin meruwetnya pendidikan di Indonesia jika diselesaikan dengan cara yang berbeda dan tak pernah satu arah. Seperti dalam konsep ”good governance”, ke semua elemen harus bersama-sama membangun sebuah solusi yang baik bagi pendidikan. Selain itu, hasil diskusi yang diharapkan juga sebagai bahan untuk membuat rancangan strategis pendidikan yang lebih idealis tapi tetep bisa dilakukan.
Sosial media sekarang menjadi ruang publik yang banyak dinikmati, pemerintah juga harus “menjemput bola” dalam artian mampu beradaptasi dan merangkul sosial media. Kemudian, menciptakan diskusi yang baik di sosial media. Kenapa seolah seperti pemerintah yang dibebankan? Karena pemerintah memiliki “kekuatan” yang lebih untuk menciptakan budaya berdiskusi di ruang publik. Meski begitu saya tidak hanya menyarankan untuk bergantung saja pada pemerintah, tetapi juga kita sebagai masyarakat harus memiliki kesadaran untuk ikut menarasikan pendidikan dalam kehidupan sehari-hari. Narasi pendidikan dalam ruang publik diharapkan menjadi sebuah kekuatan baru yang satu untuk mengarahkan pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik.
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar

Fakta mengenai kekerasan dalam dunia pendidikan seolah tak kunjung selesai. Setelah adanya berita guru yang melakukan kekerasan pada murid, kini ada video yang beredar tentang murid yang melakukan tindakan kekerasan pada gurunya dengan cara menantang dan melawan secara fisik dan verbal. Banyak masyarakat yang geram dan menyalahkan si murid. Banyak juga kata-kata kasar dan doa-doa buruk yang ditujukan pada murid yang melakukan tindakan “barbar” tersebut. 
Saya pun sempat geram melihatnya, karena saya sendiri tahu betul gimana rasanya jadi guru. Namun, setelah saya pikir-pikir lagi, apakah tindakan kasar yang dilakukan murid pada guru adalah murni kesalahan dari murid? Ataukah ada pihak-pihak yang patut disalahkan dari kejadian tersebut?
Dalam pandangan sosiologi, tentu ada banyak faktor yang mempengaruhi apa yang telah dilakukan si murid. Sebelum itu, saya ingin perlebar pertanyaannya menjadi mengapa murid bisa menjadi pelaku kekerasan? . Dari pertanyaan tersebut akan sekaligus menjawab mengapa masih banyak kasus kekerasan yang dilakukan oleh para murid di sekolah, baik terhadap teman sekolah ataupun gurunya. Berdasarkan data dari survei International Center for Research on women (IRCW) tahun 2015 menyebutkan jika 75% siswa mengaku melakukan tindakan kekerasan di sekolah. Tanpa data pun kita pasti sering mendengar banyak sekali berita tentang kekerasan yang dilakukan murid ke murid ataupun dari murid ke guru.
Kekerasan yang dilakukan murid pada siapapun di sekolah merupakan hasil dari internalisasi yang dilakukan oleh orang-orang sekitar. Dalam hal tersebut ada 3 pihak yang paling bertanggung jawab atas konstruksi “budaya kekerasan” yang ada pada anak. ketiga pihak tersebut yaitu pihak sekolah, keluarga dan tetangga atau lingkungan masyarakat. Ketiga pihak tersebutlah yang berperan dalam upaya pemberian nilai dan norma, moral, pengetahuan tentang baik dan buruk ataupun benar atau salah. Jika ada konsep kekerasan yang diterapkan oleh murid/anak. Berarti ada pemberian konsep kekerasan dari ketiga pihak pada seorang anak. Kemudian pertanyaan yang muncul “kok bisa? Apa hubungannya?”
Oke saya jelaskan pelan-pelan.
Di sekolah, kita seringkali menemukan banyak aturan-aturan yang sangat ketat kan terkait bagaimana kita seharusnya bersekolah. Peraturan tersebut selain tidak didasari atas kesepakatan bersama, peraturan tersebut kadang tidak diimbangi dengan sosialisasi kenapa mereka harus mengikuti peraturan tersebut. Pihak seolah seakan berupaya menicptakan murid yang disiplin secara paksa dengan aturan-aturan yang tidak mereka mengerti maksudnya. Semua harus patuh, karena kalau tidak patuh maka mereka akan mendapatkan hukuman. Hukuman ini seringkali hukuman fisik (push up, dipukul, lari, tampar). Hukuman fisik ini biasanya dilengkapi dengan kekerasan simbol (contoh: mengangkat penggaris kayu yang besar) baik sebelum atau sesudah hukum. Hukuman fisik ini juga biasanya dilakukan dengan ancaman-ancaman sebelum atau sesudah kejadian  (contoh: “awas kamu ya saya pukul pakai penggaris nanti). Ada juga hukuman verbal seperti hinaan atau cacian yang kemudian menjadi label untuk anak tersebut. Contoh misalnya hinaan seperti pemalas, kemudian semua murid ataupun dirinya sendiri yang dihina merasa dirinya pemalas. Hukuman yang dilakukan dalam bentuk kekerasan inilah yang kemudian menciptakan budaya kekerasan pada murid. ketika semua pihak melegitimasi, itulah sebab budaya kekerasan terus langgeng.
Upaya pendisiplinan murid selalu menjadi alasan mengapa budaya kekerasan terus direproduksi. Disiplin selalu dikaitkan dengan dengan hukuman yang berupa kekerasan. Kemudian para murid menangkap hukuman kekerasan itu menjadi sebuah pola pikir bahwa boleh loh kita mengejek orang kalo salah atau boleh loh kita memukul orang kalau ada yang salah. Hal yang menjadi bahaya adalah ketika pola pikir ini kemudian berubah bentuk menjadi tindakan, apalagi menjadi kebiasaan (habituasi kalau kata Bourdieu). Mereka akan terbiasa melakukan kekerasaan ketika melihat orang lain tidak melakukan apa yang menjadi “aturannya” atau keinginannya.  Mereka bahkan akan terbiasa memaksa seseorang untuk mematuhi aturan yang dia buat dan menjatuhi hukuman berupa kekerasan (dalam bentuk apapun) ke orang lain.
Dalam keluarga pun sama, orangtua sebagai pemberi “sosialisasi primer” juga memiliki pengaruh yang besar terhadap pola perilaku anak. Jika orangtua dalam mendidik melakukan tindakan kekerasan ataupun pemaksaaan, anak akan menelan budaya kekerasaan tersebut dan melakukan tindakan resisten (baik dengan orangtua ataupun meluapkannya di sekolah). Masyarakat atau lingkungan anak bergaul juga akan mempengaruhi sejauh mana mengerti tentang kekerasan.
Seringkali kekerasaan ini terus saja tercipta, terulang dan membudaya adalah karena kita secara sadar (namun kadang merasa tidak sadar) telah merasa bahwa kekerasaan adalah cara terbaik untuk “how to control” anak. hal yang menjadi aneh adalah ketika kita sekarang masih saja melegitimasi kekerasan adalah cara terbaik untuk mendidik, tapi ketika kekerasan masih saja terjadi di sekolah kita selalu memprotes.  Harusnya secara rasional kita menolak segala bentuk kekerasan, penindasaan dan segala kesewenang-wenangan.
Marilah kita sadar bahwa anak merupakan tanggung jawab kita bersama. Kita boleh mengutuk perilaku kekerasaannya yang salah, tapi kita jangan mudah menilai bahwa anak tersebut salah. Kekerasaan akan selalu ada jika kekerasaan itu selalu dilakukan baik secara sengaja ataupun tidak sengaja. Hal yang perlu kita sadari bahwa hukuman berupa kekerasan bukanlah menjadi solusi utama dari ketidakdisplinan anak. Menciptakan anak yang disiplin bisa dengan mengajarkan kebiasaan yang baik dan menyenangkan. Pengajarannya bukan berarti harus menasehati (menceramahi), tapi dimulai dari kita sendiri yang mencontohkan kebiasaan yang baik (praktik langsung).  Selain itu “mendidik” berarti membimbing bukan memaksa, mendidik itu memanusiakan bukan sebaliknya.
Penulis: Oktavimega Yoga Guntaradewa
IG: @Yogantarawa

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
SD Gondangtapen Blitar

Secara sadar, modernisme telah mengubah bangsa ini menjadi lebih individualis. Sikap individualis semakin lama menjadi semakin tidak rasional. Padahal salah satu syarat dari masyarakat modern yaitu rasionalitas.
Kenapa saya bisa bilang begitu? Berdasarkan survey lembaga keuangan Credit Suisse dari Swiss, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3% kekayaan nasional. Apakah rasional jika hampir setengah kekayaan negara ini dimiliki 1% orang terkaya?. Padahal, katanya “kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Apakah rasional jika mengatakan diri ini berideologi Pancasila tapi tak pernah mengimplementasikannya?.

Itu tadi soal data, sekarang kita bahas fakta lapangan. Pernahkah kalian merasa bahwa  lingkungan sosial kalian semakin lama semakin individualis? Misalnya saja banyak yang lebih memilih tidak gotong royong (memilih bayar) daripada ikut bergotong royong? Atau kalian sering merasa semuanya sibuk menghitung kekayaannya sendiri? sibuk kerja tanpa pernah memikirkan keluarga, teman, saudara?. Selamat, anda berada dalam masyarakat individualis yang katanya lebih rasional dan modern. Padahal nyatanya sangat irasional dan anti sosial. Kalau Kata (Ritzer, 2008) ”Secara paradoks, rasionalitas nampaknya sering menggiring pada kebalikannya”. Pada akhirnya yang menjadi korban adalah bangsa kita sendiri. Adanya konsep 3T (tertinggal, terdepan, terluar) merupakan kondisi nyata bahwa kita telah meninggalkan bangsa kita, (terutama) dari pada bidang pendidikan.
Banyak orang tak peduli dengan sejauh mana pendidikan di Indonesia ini berubah. Padahal pendidikan merupakan wajah dari sebuah peradaban yang maju. Miris sekali melihat nasib pendidikan di Papua, Kalimantan, Sulawesi dan beberapa daerah lainnya masih tetap saja tertinggal.  Jangankan Papua, di Jawa Timur saja yang memiliki ibukota terbesar kedua di Indonesia juga masih memiliki daerah-daerah yang tertinggal dari Pendidikan. Ironis memang, tapi nyatanya masih ada murid dan guru yang harus ke sekolah naik perahu untuk melewati sungai dan menempuh jarak yang jauh (di Sidoarjo dan Jombang). Masih ada sekolah yang fasilitas sekolah dan jumlah gurunya masih kurang. Tak hanya itu, aksesibilitas pendidikan pun masih saja jauh dan sulit (hampir disetiap kota dan kabupaten di Jawa Timur). Kemudian, bagaimana pendidikan di daerah seperti Papua yang jauh dari kata pembangunan. Seolah mereka dipaksa untuk tidak berpendidikan agar mereka mudah di eksploitasi. Kesadaran kritis sengaja dibunuh dan dikubur agar tak berani melawan. Kita berada dalam sebuah kenyataan bahwa beberapa orang masih mempunyai mindset yang tak peduli dengan pendidikan, terutama di daerah tertinggal.
Beberapa orang yang masih peduli telah berupaya memberikan bantuan-bantuan pendidikan seperti pengajaran, buku, perlengkapan sekolah, dana pendidikan dan bantuan lainnya yang berkaitan dengan pendidikan. Dari pemerintah juga sudah berupaya memberikan bantuan berupa beasiswa untuk masyarakat daerah tertinggal. Dari masyarakat sipil, mereka membangun gerakan bantuan pendidikan. PBB (Persyerikatan Bangsa-Bangsa) juga sudah menuliskan wacana pembangunan keberlanjutan di pendidikan yang tertuang dalam SDGs (Suistainable Development Goals).
Kegiatan bantuan pendidikan haruslah mampu memberikan manfaat bersama dan memiliki nilai-nilai keberlanjutan untuk menciptakan kemandirian. Banyak sekali bantuan buku yang diberikan, tapi tidak ada seleksi  untuk buku yang diberikan. Banyak buku menganggur karena tidak tepat sasaran. Banyak bantuan dana beasiswa tapi tak mamiliki proses seleksi dan pendidikan yang baik sehingga yang terpilih justru tidak kembali ke daerah asal justru sibuk dengan dirinya sendiri. Banyak bantuan berupa pengajaran, tapi proses seleksi dan pendampingannya masih lemah. Sehingga yang seringkali terjadi adalah bukan membawa solusi tapi justru menciptakan masalah yang baru. Bantuan pendidikan bagi daerah tertinggal ini perlu menjadi koreksi bersama.
Solusi bantuan pendidikan di daerah tertinggal yang diberikan, haruslah terfokus pada substansi ilmu yang diberikan dan metode yang digunakan. Pertama, mampu menciptakan kesadaran kritis mereka, agar mereka sadar akan masalah yang mereka hadapi dan mampu memberikan solusi terkait dengan permasalahan yang ada. Seperti kata Freire bahwa pendidikanbertujuan untuk membuka kesadaran akan realitas bahwa mereka ditindas dan memiliki kemungkinan untuk melakukan transformasi sosial. Kedua, Bantuan pendidikan dalam bentuk pengajaran juga harus menekankan pendidikan kontekstual, artinya implementasi edukasi haruslah disesuaikan dengan konteks keadaan di suatu daerah. Pembelajaran kontekstual memiliki fungsi sebagai strategi atau metode yang kompleks, karena dalam pelaksanaannya memerlukan kompetensi seorang guru yang benar-benar mumpuni dalam menerapkannya (Heri Gurawan, 2013).
Kemudian yang tak kalah pentingnya dari bantuan pendidikan untuk daerah tertinggal adalah fasilitas pendidikan. fasilitas pendidikan ini haruslah mudah diakses dan tepat sasaran. Aksesibilitas ini tentu penyelesainnya sangat kompleks karena akan bersinggungan dengan upaya pembangunan fisik  mobilitas geografis dan juga pembangunan ekonomi untuk mobilitas sosial. Ketetapatan sasaran juga diperlukan untuk efesiensi bantuan dan proses pemerataan bantuan.
Terakhir, Saya hanya ingin mengingatkan bahwa masih banyak orang yang harus kita bantu, karena masih banyak daerah tertinggal yang membutuhkan kita. Nasib pendidikan mereka yang di daerah tertinggal ini harus kita perhatikan bersama, bukan hanya rasa simpati tapi juga rasa empati.  Persatuan bangsa ini harus diwujudkan dalam tataran praksis atau praktik. Jarak geografi boleh jauh, tapi jarak ekonomi, sosial, politik dan budaya kita harus dekat. Akses harus lah mudah antar daerah, keterikatan sosial dekat antar individu, keterwakilan dalam politik juga harus ada di setiap daerah, saling mengenal agar ada perasaan saling menjaga sebangsa setanah air.


Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Gambar dari Google
Marx dalam salah satu teorinya menyebutkan bahwa para buruh telah teraleniasi oleh banyak hal yang membuat mereka tidak sepenuhnya menjadi manusia lagi. Eksploitasi dari para pemilik modal membuat mereka harus bekerja dari pagi hingga malam hanya untuk upah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka kehilangan waktu bersama keluarga, teman, masyarakat, dan yang paling penting kebahagiaan. Mereka telah kehilangan “rasa” dari menjadi manusia yang bebas, merdeka dan bahagia.  Inilah yang Marx katakan bahwa para pemilik modal telah melakukan “dehumanisasi” terhadap para pekerja.

“Hanya diluar kerjalah pekerja merasakan dirinya, dan selagi bekerja dia merasa berada diluar dirinya. Dia merasa betah ketika sedang tidak bekerja, dan ketika dia sedang bekerja dia merasa tidak betah” (Karl Marx)

Apa yang dirasakan murid-murid di Indonesia saat ini, sepertinya hampir sama dengan apa yang dirasakan para buruh. Murid harus berangkat pagi pulang sore, malam diisi dengan mengerjakan PR atau belajar. Apalagi jika mereka murid dari sekolah yang menetapkan kebijakan full-day school, kehidupan mereka seolah hanya belajar, belajar dan belajar. Jika belajar menjadi sebuah hal yang menyenangkan tidak masalah, tapi bagaimana jika belajar menjadi beban yang mereka harus kerjakan?

Coba bayangkan ada anak SD kelas 3, dia berangkat sekolah jam 7 pagi sampai jam 2 siang. Kemudian lanjut les tari dari jam 3 sampai jam 5 sore. Jam 6-7 malam dia harus les matematika. Sisanya biasanya ia gunakan untuk mengerjakan PR dari sekolah, dan PR dari sekolah hampir ada tiap hari dan tidak sedikit. Setiap hari Ia selalu sibuk, kalau tidak les renang, ya bahasa inggris, atau les musik, ngaji. Hampir tidak ada waktu bermain.  Bagi anak yang terlahir dari keluarga yang tidak mampu, beberapa anak harus bekerja  atau menemani orangtuanya setelah pulang sekolah. Mereka seolah kehilangan hidupnya sebagai seorang anak, yang punya hak dan kebebasan untuk juga bermain. 

Hal yang menjadi masalah adalah ketika ternyata apa yang mereka pelajari itu adalah “nothing”. Di sekolah mereka “dipaksa” mendengar pelajaran dari guru dan mencatat apa yang guru tulis di papan tulis. Setiap saya tanya pada anak-anak apa yang sudah kalian pelajari di sekolah tadi?. Jawaban mereka selalu “lupa”, “tidak tahu”, “apa ya” “tematik” dengan wajah bingung dan berusaha mengingat. Saya membayangkan, apa saja yang mereka lakukan selama hampir 7-8 jam di sekolah jika lupa apa yang baru saja dilakukan di sekolah.

Itulah yang disebut Paulo Freire sebagai “dehumanisasi pendidikan”. Guru “memaksa” muridnya untuk mendengar ilmu yang mereka ajarkan (beberapa guru tidak memberikan materi yang substansif tapi justru bercerita soal keluarga yang tidak ada substansinya).  Murid adalah “gelas kosong” yang wajib diisi air, yang hanya dimiliki sang guru. Murid jadi memiliki ketergantungan dengan guru dan guru memiliki kuasa atas ilmu yang diberikan. Kekuasaan dari guru tersebut itulah yang membuat para murid jadi tertindas. Murid hanya bisa diam, meskipun mereka tidak menikmati belajar ataupun tidak mengetahui apa yang dia pelajari. Itulah mengapa metode satu arah atau ceramah atau kalau kata Freire pendidikan gaya bank itu merupakan penindasan dalam pendidikan. Dan penindasan kata Freire, merupakan pemicu untuk lanjut pada tahap kekerasaan. Itulah mengapa banyak sekali kekerasan-kekerasan banyak dilakukan oleh para guru. 

Menurut data dari KPAI ada sebanyak 45% siswa laki-laki dan 22% siswa perempuan menyebutkan bahwa guru atau petugas sekolah merupakan pelaku kekerasan. Artinya dari dulu sampai sekarang kekerasan selalu direproduksi di sekolah. Mungkin kalau dulu kekerasan berupa fisik masih sangat banyak, sekarang sepertinya jika guru memukul murid sudah hampir tidak ada. Banyak kasus guru dilaporkan muridnya karena kekerasan fisik, itulah mungkin salah satu alasan kenapa kekerasan fisik sudah hampir tidak ada. Meski begitu kekerasan tidak pernah berakhir, kekerasaan fisik berubah menjadi kekerasan verbal dan simbolik. Kekerasan verbal yang terjadi berupa bentakan, ejekan (biasanya pada murid yang dikatakan “bodoh”), ancaman yang dikatakan secara verbal. Beberapa kekerasan dalam bentuk simbol seperti sering mengacungkan penggaris besar dan panjang, mengepalkan tangan, dan menatap tajam.

Jika meminjam istilah dari Johan Galtung kekerasan tersebut bisa dikatakan sebagai kekerasan kultural, karena telah menjadi budaya yang terus dilestarikan dan dilegetimasi oleh banyak pihak termasuk murid. Guru berdalih bahwa kekerasan adalah solusi dari upaya membentuk kedisiplinan. Murid pun juga percaya bahwa wajar jika guru menghukum mereka karena kesalahan yang mereka buat. Ketika saya tanya pada salah satu murid kenapa ia bisa dipukul gurunya, temannya yang lain langsung membalas “ya karena dia pasti ada salah”. Akhirnya kekerasan selalu menjadi jawaban dari sebuah kesalahan. Jawaban tersebut parahnya, selalu diulang dan diulang seolah menjadi jawaban yang absolut. Kekerasan kemudian jadi hukuman yang sah dan wajib untuk kesalahan yang dilakukan murid. Padahal kesalahan dari murid bisa jadi karena ketidaktahuan murid dan banyak faktor lainnya.

Murid selalu saja dihukum atas ketidaktahuannya, bahkan murid juga bisa dihukum atas dasar “ekonomi”.  Mari saya kasih contoh. Baru saja ada berita di akhir Januari 2019, seorang murid SD dihukum push up karena menunggak SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan). Kita tahu bahwa pendidikan semakin mahal padahal kualitas tak juga membaik, beberapa anak yang terlahir dari keluarga miskin tidak mampu membeli buku, seragam, membayar ujian kenaikan. Saya tidak habis pikir mengapa masih ada sekolah yang menghukum muridnya karena tidak bayar SPP, tidak bayar ujian, tidak bayar buku, tidak bayar uang seragam, tidak bayar uang outbond. Sungguh tidak adil ketika keadaan ekonomi keluarga menjadi alasan murid dihukum, apalagi menggunakan kekerasan.

Kekerasaan yang dilakukan oleh guru pada muridnya ini harus menjadi evaluasi bersama. Saya memahami tugas guru memang berat, tapi jangan sampai kekerasan menjadi satu-satunya solusi.  Guru adalah orangtua kedua bagi murid, maka dari itu guru haruslah memiliki kedekatan personal pada setiap murid. Kedekatan itu harus dibangun guna menciptakan suasana yang nyaman saat belajar. Kondisi nyaman saat belajar itu adalah kunci agar ilmu mudah terserap dan murid menjadi semangat dalam belajar. Segala bentuk kekerasaan harus mulai dikurangi dan dihilangkan. Kekuasaan yang berlebih pun juga harus segera dikurangi. Dalam pendidikan posisi guru dan murid haruslah sama dan prosesnya haruslah dua arah (dalam konsep komunikasi disebut Two Way Traffic), keduanya saling berbagi ilmu dan pengetahuan. Sehingga tidak ada yang merasa paling berkuasa, karena kekuasaan yang berlebihan memiliki kecenderungan untuk menindas. Penindasan akan sangat dekat dengan “kekerasan”.


Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

About Me

Yoga Dewa

(Sociologist)

Focus on Community Development, Education, New Social Movement

Instagram: @Yogantarawa

Labels

  • CERPEN
  • MY ART
  • OPINI
  • Puisi
  • REKOMENDASI
  • TIPS AND TRICK

recent posts

Sponsor

Flag Counter

Blog Archive

  • ►  2023 (1)
    • ►  October (1)
  • ►  2020 (6)
    • ►  May (3)
    • ►  February (1)
    • ►  January (2)
  • ▼  2019 (22)
    • ►  December (1)
    • ►  September (6)
    • ►  August (4)
    • ►  June (1)
    • ►  May (1)
    • ►  March (3)
    • ▼  February (5)
      • 3 Good Habits for Social Science Student
      • Pentingnya Narasi Pendidikan Di Ruang Publik
      • Murid Barbar Salah Siapa?
      • NASIB PENDIDIKAN DI DAERAH TERTINGGAL
      • DEHUMANISASI PENDIDIKAN DAN KEKERASAN KULTURAL OLE...
    • ►  January (1)
  • ►  2018 (4)
    • ►  December (1)
    • ►  February (2)
    • ►  January (1)
  • ►  2017 (16)
    • ►  November (1)
    • ►  October (4)
    • ►  September (1)
    • ►  July (2)
    • ►  May (5)
    • ►  February (1)
    • ►  January (2)
  • ►  2016 (27)
    • ►  August (1)
    • ►  July (3)
    • ►  June (9)
    • ►  May (2)
    • ►  April (2)
    • ►  March (2)
    • ►  February (3)
    • ►  January (5)
  • ►  2015 (8)
    • ►  December (7)
    • ►  October (1)
  • ►  2014 (11)
    • ►  August (2)
    • ►  July (4)
    • ►  June (5)

Created with by BeautyTemplates| Distributed By Gooyaabi Templates