NASIB PENDIDIKAN DI DAERAH TERTINGGAL
SD Gondangtapen Blitar |
Secara sadar, modernisme telah mengubah bangsa ini menjadi lebih
individualis. Sikap individualis semakin lama menjadi semakin tidak rasional.
Padahal salah satu syarat dari masyarakat modern yaitu rasionalitas.
Kenapa
saya bisa bilang begitu? Berdasarkan survey lembaga keuangan Credit
Suisse dari Swiss, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai
49,3% kekayaan nasional. Apakah rasional jika hampir setengah
kekayaan negara ini dimiliki 1% orang terkaya?. Padahal, katanya “kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”. Apakah rasional jika mengatakan diri ini berideologi Pancasila tapi
tak pernah mengimplementasikannya?.
Itu tadi soal data, sekarang kita bahas fakta lapangan. Pernahkah kalian merasa bahwa lingkungan sosial kalian semakin lama semakin individualis? Misalnya saja banyak yang lebih memilih tidak gotong royong (memilih bayar) daripada ikut bergotong royong? Atau kalian sering merasa semuanya sibuk menghitung kekayaannya sendiri? sibuk kerja tanpa pernah memikirkan keluarga, teman, saudara?. Selamat, anda berada dalam masyarakat individualis yang katanya lebih rasional dan modern. Padahal nyatanya sangat irasional dan anti sosial. Kalau Kata (Ritzer, 2008) ”Secara paradoks, rasionalitas nampaknya sering menggiring pada kebalikannya”. Pada akhirnya yang menjadi korban adalah bangsa kita sendiri. Adanya konsep 3T (tertinggal, terdepan, terluar) merupakan kondisi nyata bahwa kita telah meninggalkan bangsa kita, (terutama) dari pada bidang pendidikan.
Itu tadi soal data, sekarang kita bahas fakta lapangan. Pernahkah kalian merasa bahwa lingkungan sosial kalian semakin lama semakin individualis? Misalnya saja banyak yang lebih memilih tidak gotong royong (memilih bayar) daripada ikut bergotong royong? Atau kalian sering merasa semuanya sibuk menghitung kekayaannya sendiri? sibuk kerja tanpa pernah memikirkan keluarga, teman, saudara?. Selamat, anda berada dalam masyarakat individualis yang katanya lebih rasional dan modern. Padahal nyatanya sangat irasional dan anti sosial. Kalau Kata (Ritzer, 2008) ”Secara paradoks, rasionalitas nampaknya sering menggiring pada kebalikannya”. Pada akhirnya yang menjadi korban adalah bangsa kita sendiri. Adanya konsep 3T (tertinggal, terdepan, terluar) merupakan kondisi nyata bahwa kita telah meninggalkan bangsa kita, (terutama) dari pada bidang pendidikan.
Banyak orang
tak peduli dengan sejauh mana pendidikan di Indonesia ini berubah. Padahal
pendidikan merupakan wajah dari sebuah peradaban yang maju. Miris sekali
melihat nasib pendidikan di Papua, Kalimantan, Sulawesi dan beberapa daerah
lainnya masih tetap saja tertinggal. Jangankan Papua, di Jawa Timur saja
yang memiliki ibukota terbesar kedua di Indonesia juga masih memiliki
daerah-daerah yang tertinggal dari Pendidikan. Ironis memang, tapi nyatanya
masih ada murid dan guru yang harus ke sekolah naik perahu untuk melewati
sungai dan menempuh jarak yang jauh (di Sidoarjo dan Jombang). Masih ada
sekolah yang fasilitas sekolah dan jumlah gurunya masih kurang. Tak hanya itu,
aksesibilitas pendidikan pun masih saja jauh dan sulit (hampir disetiap kota
dan kabupaten di Jawa Timur). Kemudian, bagaimana pendidikan di daerah seperti
Papua yang jauh dari kata pembangunan. Seolah mereka dipaksa untuk tidak
berpendidikan agar mereka mudah di eksploitasi. Kesadaran kritis sengaja dibunuh dan
dikubur agar tak berani melawan. Kita berada dalam sebuah
kenyataan bahwa beberapa orang masih mempunyai mindset yang tak
peduli dengan pendidikan, terutama di daerah tertinggal.
Beberapa orang
yang masih peduli telah berupaya memberikan bantuan-bantuan pendidikan seperti
pengajaran, buku, perlengkapan sekolah, dana pendidikan dan bantuan lainnya
yang berkaitan dengan pendidikan. Dari pemerintah juga sudah berupaya
memberikan bantuan berupa beasiswa untuk masyarakat daerah tertinggal. Dari
masyarakat sipil, mereka membangun gerakan bantuan pendidikan. PBB
(Persyerikatan Bangsa-Bangsa) juga sudah menuliskan wacana pembangunan
keberlanjutan di pendidikan yang tertuang dalam SDGs (Suistainable Development Goals).
Kegiatan
bantuan pendidikan haruslah mampu memberikan manfaat bersama dan memiliki
nilai-nilai keberlanjutan untuk menciptakan kemandirian. Banyak
sekali bantuan buku yang diberikan, tapi tidak ada seleksi untuk buku
yang diberikan. Banyak buku menganggur karena tidak tepat sasaran. Banyak
bantuan dana beasiswa tapi tak mamiliki proses seleksi dan pendidikan yang baik
sehingga yang terpilih justru tidak kembali ke daerah asal justru sibuk dengan
dirinya sendiri. Banyak bantuan berupa pengajaran, tapi proses seleksi dan
pendampingannya masih lemah. Sehingga yang seringkali terjadi adalah bukan
membawa solusi tapi justru menciptakan masalah yang baru. Bantuan pendidikan
bagi daerah tertinggal ini perlu menjadi koreksi bersama.
Solusi bantuan
pendidikan di daerah tertinggal yang diberikan, haruslah terfokus
pada substansi ilmu yang diberikan dan metode yang digunakan. Pertama,
mampu menciptakan kesadaran kritis mereka, agar mereka sadar akan masalah yang
mereka hadapi dan mampu memberikan solusi terkait dengan permasalahan yang ada.
Seperti kata Freire bahwa pendidikanbertujuan untuk membuka kesadaran akan
realitas bahwa mereka ditindas dan memiliki kemungkinan untuk melakukan
transformasi sosial. Kedua, Bantuan
pendidikan dalam bentuk pengajaran juga harus menekankan pendidikan
kontekstual, artinya implementasi edukasi haruslah disesuaikan dengan konteks
keadaan di suatu daerah. Pembelajaran kontekstual memiliki fungsi sebagai
strategi atau metode yang kompleks, karena dalam pelaksanaannya memerlukan
kompetensi seorang guru yang benar-benar mumpuni dalam menerapkannya (Heri
Gurawan, 2013).
Kemudian yang
tak kalah pentingnya dari bantuan pendidikan untuk daerah tertinggal adalah
fasilitas pendidikan. fasilitas pendidikan ini
haruslah mudah diakses dan tepat sasaran. Aksesibilitas ini
tentu penyelesainnya sangat kompleks karena akan bersinggungan dengan upaya
pembangunan fisik mobilitas geografis dan juga pembangunan ekonomi untuk
mobilitas sosial. Ketetapatan sasaran juga diperlukan untuk efesiensi bantuan
dan proses pemerataan bantuan.
Terakhir, Saya
hanya ingin mengingatkan bahwa masih banyak orang yang harus kita bantu, karena
masih banyak daerah tertinggal yang membutuhkan kita. Nasib pendidikan mereka
yang di daerah tertinggal ini harus kita perhatikan bersama, bukan hanya rasa
simpati tapi juga rasa empati. Persatuan bangsa ini harus diwujudkan
dalam tataran praksis atau praktik. Jarak geografi boleh jauh, tapi jarak
ekonomi, sosial, politik dan budaya kita harus dekat. Akses harus lah mudah
antar daerah, keterikatan sosial dekat antar individu, keterwakilan dalam
politik juga harus ada di setiap daerah, saling mengenal agar ada perasaan
saling menjaga sebangsa setanah air.
0 komentar