Murid Barbar Salah Siapa?

by - 21:07


Fakta mengenai kekerasan dalam dunia pendidikan seolah tak kunjung selesai. Setelah adanya berita guru yang melakukan kekerasan pada murid, kini ada video yang beredar tentang murid yang melakukan tindakan kekerasan pada gurunya dengan cara menantang dan melawan secara fisik dan verbal. Banyak masyarakat yang geram dan menyalahkan si murid. Banyak juga kata-kata kasar dan doa-doa buruk yang ditujukan pada murid yang melakukan tindakan “barbar” tersebut. 
Saya pun sempat geram melihatnya, karena saya sendiri tahu betul gimana rasanya jadi guru. Namun, setelah saya pikir-pikir lagi, apakah tindakan kasar yang dilakukan murid pada guru adalah murni kesalahan dari murid? Ataukah ada pihak-pihak yang patut disalahkan dari kejadian tersebut?
Dalam pandangan sosiologi, tentu ada banyak faktor yang mempengaruhi apa yang telah dilakukan si murid. Sebelum itu, saya ingin perlebar pertanyaannya menjadi mengapa murid bisa menjadi pelaku kekerasan? . Dari pertanyaan tersebut akan sekaligus menjawab mengapa masih banyak kasus kekerasan yang dilakukan oleh para murid di sekolah, baik terhadap teman sekolah ataupun gurunya. Berdasarkan data dari survei International Center for Research on women (IRCW) tahun 2015 menyebutkan jika 75% siswa mengaku melakukan tindakan kekerasan di sekolah. Tanpa data pun kita pasti sering mendengar banyak sekali berita tentang kekerasan yang dilakukan murid ke murid ataupun dari murid ke guru.
Kekerasan yang dilakukan murid pada siapapun di sekolah merupakan hasil dari internalisasi yang dilakukan oleh orang-orang sekitar. Dalam hal tersebut ada 3 pihak yang paling bertanggung jawab atas konstruksi “budaya kekerasan” yang ada pada anak. ketiga pihak tersebut yaitu pihak sekolah, keluarga dan tetangga atau lingkungan masyarakat. Ketiga pihak tersebutlah yang berperan dalam upaya pemberian nilai dan norma, moral, pengetahuan tentang baik dan buruk ataupun benar atau salah. Jika ada konsep kekerasan yang diterapkan oleh murid/anak. Berarti ada pemberian konsep kekerasan dari ketiga pihak pada seorang anak. Kemudian pertanyaan yang muncul “kok bisa? Apa hubungannya?”
Oke saya jelaskan pelan-pelan.
Di sekolah, kita seringkali menemukan banyak aturan-aturan yang sangat ketat kan terkait bagaimana kita seharusnya bersekolah. Peraturan tersebut selain tidak didasari atas kesepakatan bersama, peraturan tersebut kadang tidak diimbangi dengan sosialisasi kenapa mereka harus mengikuti peraturan tersebut. Pihak seolah seakan berupaya menicptakan murid yang disiplin secara paksa dengan aturan-aturan yang tidak mereka mengerti maksudnya. Semua harus patuh, karena kalau tidak patuh maka mereka akan mendapatkan hukuman. Hukuman ini seringkali hukuman fisik (push up, dipukul, lari, tampar). Hukuman fisik ini biasanya dilengkapi dengan kekerasan simbol (contoh: mengangkat penggaris kayu yang besar) baik sebelum atau sesudah hukum. Hukuman fisik ini juga biasanya dilakukan dengan ancaman-ancaman sebelum atau sesudah kejadian  (contoh: “awas kamu ya saya pukul pakai penggaris nanti). Ada juga hukuman verbal seperti hinaan atau cacian yang kemudian menjadi label untuk anak tersebut. Contoh misalnya hinaan seperti pemalas, kemudian semua murid ataupun dirinya sendiri yang dihina merasa dirinya pemalas. Hukuman yang dilakukan dalam bentuk kekerasan inilah yang kemudian menciptakan budaya kekerasan pada murid. ketika semua pihak melegitimasi, itulah sebab budaya kekerasan terus langgeng.
Upaya pendisiplinan murid selalu menjadi alasan mengapa budaya kekerasan terus direproduksi. Disiplin selalu dikaitkan dengan dengan hukuman yang berupa kekerasan. Kemudian para murid menangkap hukuman kekerasan itu menjadi sebuah pola pikir bahwa boleh loh kita mengejek orang kalo salah atau boleh loh kita memukul orang kalau ada yang salah. Hal yang menjadi bahaya adalah ketika pola pikir ini kemudian berubah bentuk menjadi tindakan, apalagi menjadi kebiasaan (habituasi kalau kata Bourdieu). Mereka akan terbiasa melakukan kekerasaan ketika melihat orang lain tidak melakukan apa yang menjadi “aturannya” atau keinginannya.  Mereka bahkan akan terbiasa memaksa seseorang untuk mematuhi aturan yang dia buat dan menjatuhi hukuman berupa kekerasan (dalam bentuk apapun) ke orang lain.
Dalam keluarga pun sama, orangtua sebagai pemberi “sosialisasi primer” juga memiliki pengaruh yang besar terhadap pola perilaku anak. Jika orangtua dalam mendidik melakukan tindakan kekerasan ataupun pemaksaaan, anak akan menelan budaya kekerasaan tersebut dan melakukan tindakan resisten (baik dengan orangtua ataupun meluapkannya di sekolah). Masyarakat atau lingkungan anak bergaul juga akan mempengaruhi sejauh mana mengerti tentang kekerasan.
Seringkali kekerasaan ini terus saja tercipta, terulang dan membudaya adalah karena kita secara sadar (namun kadang merasa tidak sadar) telah merasa bahwa kekerasaan adalah cara terbaik untuk how to control” anak. hal yang menjadi aneh adalah ketika kita sekarang masih saja melegitimasi kekerasan adalah cara terbaik untuk mendidik, tapi ketika kekerasan masih saja terjadi di sekolah kita selalu memprotes.  Harusnya secara rasional kita menolak segala bentuk kekerasan, penindasaan dan segala kesewenang-wenangan.
Marilah kita sadar bahwa anak merupakan tanggung jawab kita bersama. Kita boleh mengutuk perilaku kekerasaannya yang salah, tapi kita jangan mudah menilai bahwa anak tersebut salah. Kekerasaan akan selalu ada jika kekerasaan itu selalu dilakukan baik secara sengaja ataupun tidak sengaja. Hal yang perlu kita sadari bahwa hukuman berupa kekerasan bukanlah menjadi solusi utama dari ketidakdisplinan anak. Menciptakan anak yang disiplin bisa dengan mengajarkan kebiasaan yang baik dan menyenangkan. Pengajarannya bukan berarti harus menasehati (menceramahi), tapi dimulai dari kita sendiri yang mencontohkan kebiasaan yang baik (praktik langsung).  Selain itu “mendidik” berarti membimbing bukan memaksa, mendidik itu memanusiakan bukan sebaliknya.
Penulis: Oktavimega Yoga Guntaradewa
IG: @Yogantarawa

You May Also Like

0 komentar