Pentingnya Narasi Pendidikan Di Ruang Publik

by - 20:15

Gambar dari Google

Perbincangan mengenai pendidikan, sepertinya bukan menjadi perbincangan yang menarik sekarang ini. Dalam bidang politik, para elit politik pun jarang memberikan narasi-narasi seputar pendidikan. soal kebijakan pendidikan pun sepertinya tak banyak kecuali soal kenaikan gaji guru, meskipun sebenarnya bagi saya itu sangat politis. Di media, sebenarnya sudah banyak yang memiliki kanal atau rubrik khusus terkait pendidikan. Meski begitu kanal pendidikan selalu tak lebih menarik daripada kanal politik elektoral, ekonomi, hiburan. Dalam perbincangan di ruang publik, saya rasa bahas bola, musik, apapun yang bersifat kesenangan atau hiburan adalah lebih menarik dibandingan ngomongin pendidikan.
Tapi kan bukan berarti semua orang tidak peduli tentang pendidikan? atau semua tidak mungkin juga semua orang diminta bahas pendidikan terus menerus? iya, tidak memang. Tapi, narasi atau dealektika kita tentang pendidikan masihlah jauh dari harapan. Hal tersebut jika terus saja terjadi dan kita diamkan, maka tak ada ada lagi gagasan baru, kritik yang membangun, kepedulian terhadap pendidikan. Jika semua orang tak pernah membahas pendidikan, maka jangan tanya jika suatu hari kualitas pendidikan kita turun.  Kemudian berdampak pada semakin ruwetnya permasalahan ekonomi, lingkungan, budaya, politik, sosial. Mungkin akan terlihat sepele. Tapi jika tak pernah dimulai, maka narasi yang muncul di publik hanyalah hal-hal negatif atau hal tidak penting lainnya.
Mengapa bisa begitu?
Gini.
Beberapa orang tua, “mempercayakan” pendidikan anaknya di tempat les dan sekolah. Orang tua hanya “percaya” tanpa pernah bertanya tentang pendidikan anaknya ke sekolah ataupun ke tempat les. Semua ataupun istri hampir tidak pernah membahas mengenai pendidikan anak, sama tetangga pun demikian. Akhirnya pendidikan bagi orangtua tak lagi penting. Hal yang paling penting adalah bagaimana caranya mengumpulkan banyak uang untuk pendidikan anaknya.  Oke mencari uang untuk pendidikan anak itu penting, tapi bagaimana pendidikan itu dibicarakan dalam lingkungan keluarga ataupun masyarakat juga sama pentingnya. Mengapa? Bayangkan saja semisal anak tidak suka matematika tapi ibunya selalu memaksakan les matematika. Waktu pembagian rapor marah ketika anak tidak mendapatkan nilai baik di pelajaran yang juga dipelajari di tempat les. Orangtua merasa rugi dan biasanya berakhir pada judgement bahwa anaknya bodoh. Padahal anak tersebut memiliki kekuatan di mata pejaran seni misalnya. Itu adalah efek mikro ketika kita tak pernah membicarakan pendidikan di ruang-ruang publik.
Dalam tataran makro misalnya, ketika ada kebijakan dari pemerintah yang membuat sekolah semakin mengupayakan “dehumanisasi pendidikan”. Kemudian tak ada dealektika yang berkembang di masyarakat, tak ada kritik, semua diam. Maka pemerintah akan merasa kebijakannya sudah benar dan kebijakan yang dirasa buruk tersebut akan terus dilaksanakan. Inilah yang berbahaya, ketika dampaknya adalah secara makro.  Nasib banyak orang dipertaruhkan. Para elit harusnya paham dampak apa yang mereka timbulkan ketika tidak mengkritik atau melakukan otokritik terhadap dunia pendidikan.
Kemudian apa yang harus dilakukan?
Membiasakan memberikan argumentasi di banyak ruang-ruang (ruang keluarga, sekolah, kampus, masyarakat, dll). Membangun banyak narasi-narasi yang memperjuangkan pendidikan. Baca dan kritisi kebijakan pendidikan. Praktek dan refleksi solusi tentang pendidkan. Dealektika dalam ruang-ruang publik harus terus dibudayakan. Secara mikro bisa dilakukan dalam lingkup keluarga, secara makro pemerintah bisa memberikan ruang untuk mendiskusikan solusi dari masyarakat agar kedepan menjadi perbaikan untuk pendidikan di Indonesia. Ruang publik dalam membahas pendidikan tidak boleh ada sentimen terhadap gender, umur, SARA. Ruang-ruang yang tercipta haruslah sangat demokratis. Diskusi yang tercipta adalah hasil dari sebuah dialogis yang substansial.
Dalam tataran kebijakan, ruang publik yang membahas pendidikan haruslah difasilitasi oleh pemerintah baik secara offline ataupun online. Harus ada “obrolan” antara pemerintah, gerakan sosial di bidang pendidikan, swasta, akademisi, masyarakat. Misalnya saja pemerintah membuat forum diskusi tentang pendidikan yang dihadiri oleh para aktivis atau praktisi pendidikan di daerah-daerah pelosok untuk menjaring aspirasi yang "nyata". Diskusi tersebut diharapkan mampu memberikan “trigger” untuk saling berkalaborasi dan kerjasama. Banyak individu atau kelompok masyarakat yang bergerak di bidang pendidikan saling berdiri sendiri dan mencari audience relawan masing-masing. hal yang saya khawatirkan adalah semakin meruwetnya pendidikan di Indonesia jika diselesaikan dengan cara yang berbeda dan tak pernah satu arah. Seperti dalam konsep ”good governance”, ke semua elemen harus bersama-sama membangun sebuah solusi yang baik bagi pendidikan. Selain itu, hasil diskusi yang diharapkan juga sebagai bahan untuk membuat rancangan strategis pendidikan yang lebih idealis tapi tetep bisa dilakukan.
Sosial media sekarang menjadi ruang publik yang banyak dinikmati, pemerintah juga harus “menjemput bola” dalam artian mampu beradaptasi dan merangkul sosial media. Kemudian, menciptakan diskusi yang baik di sosial media. Kenapa seolah seperti pemerintah yang dibebankan? Karena pemerintah memiliki “kekuatan” yang lebih untuk menciptakan budaya berdiskusi di ruang publik. Meski begitu saya tidak hanya menyarankan untuk bergantung saja pada pemerintah, tetapi juga kita sebagai masyarakat harus memiliki kesadaran untuk ikut menarasikan pendidikan dalam kehidupan sehari-hari. Narasi pendidikan dalam ruang publik diharapkan menjadi sebuah kekuatan baru yang satu untuk mengarahkan pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik.

You May Also Like

1 komentar