Perayaan Semu Hardiknas

by - 21:36


Bertahun-tahun merayakan hari pendidikan, bertahun-tahun juga tak pernah belajar. Namanya hari pendidikan nasional, tapi seolah tak pernah belajar bahwa perayaan pendidikan di negeri ini tak semeriah hari bersejarah lainnya. Saya tidak meminta demo ataupun perayaan besar-besaran 7 hari 7 malam, tapi apakah hari pendidikan sudah dipahami dalam level yang cukup dalam? Atau hanya sekedar perayaan semu atau kalau istilah kerennya “pseudo-celebration”.
Hari pendidikan nasional merupakan hari kelahiran pahlawan yang dijuluki bapak pendidikan nasional yaitu Ki Hajar Dewantara. Hari Pendidikan nasional yang ditetapkan melalui Keppres No. 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959, harusnya menjadi semacam refleksi apakah pendidikan kita sudah di jalur yang tepat atau tidak. Maksudnya bukan hanya sekedar melakukan evaluasi tapi juga lebih mendalami pendidikan yang baik untuk bangsa ini seperti apa.
Jika kita meruntut pada sejarah dan berkaca pada kenapa hari pendidikan kita tanggal 2 Mei, harusnya kita tahu bahwa KI Hajar Dewantara merupakan tokoh bangsa yang patut kita pelajari tentang apa yang sudah Beliau kerjakan dan pikirkan mengenai pendidikan. Beliau lahir dari kelas atas, namun masih memikirkan bangsanya yang berada dalam kelas bawah. Beliau memperjuangkan pendidikan pribumi dan mendirikan Taman Siswa sebagai sekolah yang selalu menekankan kemandirian. Beberapa konsep dan metode pendidikan seperti sariswara, among, TRIKON (Kontinyu, konvergen dan konsentris, TRINGA (Ngerti, ngrasa, nglakoni) dan lain-lain, apakah sudah dipelajari oleh para pendidik dan pemangku kebijakan pada saat ini. Nilai-nilai akan pentingnya budi pekerti dalam pendidikan juga apakah sudah menjadi dasar kita dalam membuat kebijakan tentang pendidikan ataupun dalam mengajar. Hal tersebut saya kira perlu kita renungi bersama dalam hari pendidikan di setiap tahunnya.
Saya bukannya memaksakan pendidikan kita ini harus menggunakan cara pendidikan Ki Hajar Dewantara, namun coba kita renungi sejenak. Kita seringkali terlalu berlebihan dalam mengadopsi budaya barat, sampai  lupa bahwa kondisi masyarakat kita berbeda. Misalnya saja soal penggunaan bahasa Inggris, di sekolah kita diminta untuk berbahasa Inggris lengkap. Pada akhirnya murid menjadi jarang berbahasa Indonesia yang benar, dan kurang berbahasa daerah yang baik. Apa dampaknya? Budaya kita yang lama kelamaan hilang. Ketika budaya hilang maka jadi diri kita sebagai bangsa pun juga hilang.
Saya tidak mengatakan jika belajar bahasa Inggris tidak penting, tapi harus tepat guna atau proposional dalam mempelajari dan mengamalkan. Ki Hajar Dewantara pernah mengatakan bahwa untuk memperkuat pendidikan harus selaras dengan nilai-nilai budaya yang sedang berkembang dimasyarakat. Mengapa? Karena pendidikan harusnya menjadi solusi dari masalah dalam suatu peradaban bangsa, dan hal tersebut berarti pendidikan harus sesuai konteksnya. Strateginya dijelaskan Ki Hajar Dewantara dalam salah satu konsep TRIKON yaitu Konsentris (pendidikan harus sesuai dengan budaya sendiri). Artinya kita harus mau belajar kebelakang lebih dalam untuk melangkah kedepan yang lebih jauh.
Arah pendidikan kita ke depan seakan tidak pernah melihat pelajaran-pelajaran yang sudah diajarkan bangsa ini. Misalnya soal arah pendidikan kita yang sangat berupaya mengikuti perkembangan industri 4.0, tanpa didukung adanya peningkatan kreativitas, peningkatan literasi, juga nilai kritis, penanaman nilai budi pekerti dan lain-lain. Akhirnya yang terjadi adalah pendidikan sebagai pencipta atau mesin yang membuat manusia menjadi robot-robot yang membantu memperkaya pemiliki modal. Hal yang terlihat adalah kita merasa bahwa pendidikan kita mulai membaik dan peningkatan ekonomi juga semakin tinggi, namun kesenjangan juga tinggi, polusi tinggi, konflik semakin meningkat dan literasi yang semakin rendah. Padahal seharusnya kita semua tahu bahwa banyak tokoh pendidikan mengatakan bahwa pendidikan haruslah mampu membuat manusia mampu memanusiakan manusia lainnya.
Dari beberapa kasus diatas harusnya mampu menjadi bahan refleksi bahwa perayaan hari pendidikan bukan hanya sekedar upacara bendera atau acara-acara seremonial. Tapi juga evaluasi yang mendasar terhadap pendidikan kita. Sekali lagi bukan berarti saya tidak setuju dengan adanya perayaan, hanya saja jika hanya perayaan yang terjadi hanya narasi tanpa isi. Narasi tanpa isi akan menghasilakn perayaan yang hanya di kota, perayaan yang hanya parsial. Padahal harusnya perayaan dilaksanakan di seluruh elemen masyarakat yang terhubung dalam pendidikan. Siapa saja? Keluarga, Sekolah, Komunitas pendidikan, Masyarakat, dan masih banyak yang lainnya.
Jadi yang pertama, sikap kita dalam memaknai perayaan hardiknas haruslah sebagai proses evaluasi sekaligus refleksi apakah pendidikan kita sudah sesuai dan bagaimana kemudian langkah dari pendidikan kita ke depan. Kedua, pelaksanaan Hardiknas harus dimaknai sebagai upaya menarasikan pendidikan keseluruh elemen dimanapun dan siapapun. Sehingga pelaksanaannya bisa menyeluruh dari masyarakat yang terkecil hingga yang terbesar dan yang terendah sampai yang tertinggi.
Terakhir,
selamat hari pendidikan. Merayakan apa yang sudah dicapai itu boleh tapi merayakan mengenai sebuah kegagalan dan masih banyaknya permasalahan itu jangan. Kita masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan, lebih baik jangan menunda dengan hanya berpesta pora tapi bangun dan kerjakan. Semoga pendidikan memerdekakan kita semua.

You May Also Like

1 komentar

  1. Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
    Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
    Yang Ada :
    TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
    Sekedar Nonton Bola ,
    Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
    Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
    Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
    Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
    Website Online 24Jam/Setiap Hariny

    ReplyDelete