Anteposterior

(n) Tempat Dimana Dapat Berbagi Pikiran Dan Perasaan

BUKU PERTAMA (MENGENAL GERAKAN MENGAJAR)


Berawal dari membuka file lama, aku teringat pernah menulis buku ini setelah lulus waktu itu. Buku ini ditulis ketika aku sedang semangatnya bergerak dalam dunia pendidikan dan menjalani kehidupan yang ku inginkan.

tujuan dari buku ini adalah agar semua mahasiswa atau para pemuda mengenal gerakan di bidang pendidikan. harapannya Buku ini bisa menjadi pengantar diskusi dan atau pemicu semangat untuk bergerak dalam pendidikan. Buku ini mungkin cocok untuk kalian yang sedang menjadi mahasiswa yang ingin ikut atau sedang aktif dalam organisasi di bidang pendidikan.


Buku pertama yang aku tulis ini tentu saja banyak sekali kekurangan. Tapi, setidaknya semoga bisa menjadi manfaat (meskipun cuman sedikit) bagi yang membacanya.


berikut link downloadnya. it is free. silahkan.


https://bit.ly/bukumgm


Kalau udah selesai baca bukunya bisa mengirimkan kritik dan saran ke instagram @yogantarawa
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Skenario, @Nadyaaarw
Masyarakat modern selalu berupaya mengendalikan masa depan dengan terus menciptakan teknologi yang mampu membuat manusia tetap eksis sampai ke masa depan. Dengan datangnya pandemi Covid-19, seluruh dunia seolah diingatkan bahwa manusia hidup dalam ketidakjelasan dan ketidakpastian masa depan. Entah itu ketidakjelasan dan ketidakpastian yang diciptakan ataupun yang tidak diciptakan.
Setelah gagal mengantisipasi masuknya pandemi di Indonesia karena perasaan bias optimisme yang dimiliki bangsa ini. Ternyata Indonesia tidak belajar banyak dari kasus pertama, puluhan ribu kasus masih saja meremehkan pandemi kali ini. Kurangnya pengalaman dalam menghadapi pandemi dan kurangnya kewaspadaan terhadap virus Covid-19 ini membuat masyarakat dan pemerintah kelagapan dalam menangani pandemi ini.
Kurang tanggapnya pemerintah pusat dalam merespon bencana ini, membuat masyarakat pun kebingungan dan cenderung melakukan langkah sendiri. Contohnya pemerintah lokal yang melakukan lockdown dan masyarakat yang berbondong-bondong melakukan pembelian sembako secara besar-besaran merupakan bentuk penyelamatan diri. Tindakan tersebut dilakukan ketika situasi ancaman (kasus covid-19 yang mulai naik) sudah hadir di depan mata tapi belum ada bentuk pertahanan yang jelas.
Kasus positif sekarang ini semakin bertambah, pada tanggal 21 Mei 2020 kenaikan kasus positif tercatat paling tinggi selama ini yaitu 973 kasus. Pada tanggal 21 Mei tercatat total jumlah kasus menjadi 20.162.  Bukannya semakin serius karena kasus positif semakin naik, pemerintah sebagai yang paling bertanggung jawab justru melakukan ketidakjelasan dan ketidakpastian itu sendiri.
Pemerintah pusat yang sudah mulai memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) lengkap dengan sanksi tegasnya dan memberikan pernyataan perang pada pandemi, tiba-tiba pada tanggal 8 Mei 2020 meminta masyarakat untuk berdamai bersama dengan virus Covid-19. Meminta masyarakat berdamai dengan melakukan aktivitas seperti biasa ditengah kasus positif yang semakin tinggi akan sangat beresiko. Meskipun masyarakat diminta tetap mematuhi prosedur kesehatan, tetap saja masih terlalu riskan. Pemerintah justru terlihat seperti membiarkan masyarakat bertahan sendiri-sendiri. Ketika ancaman semakin tinggi, maka masyarakat cenderung menyelamatkan diri sendiri.
Setelah wacana damai dari presiden, kemudian viral kerumunan orang yang bernostalgia saat penutupan MCS Sarinah pada tanggal 10 Mei 2020, viral juga ramainya bandara Soekarno-Hatta pada tanggal 13 Mei 2020, viral juga ramainya pengunjung mal di CBD Ciledug 17 Mei 2020 dan SGC Cikarang 18 Mei 2020. Hal tersebut membuat geram banyak pihak yang berupaya untuk tetap di rumah dan juga dokter. Tak heran jika para dokter banyak yang membuat video Indonesia terserah, karena mungkin apa yang diusahakan sia-sia.
Ketika beberapa dari masyarakat masih tetap semangat berperang bersama, beberapa masyarakat lain sibuk mementingkan diri sendiri dan melanggar aturan bersama. Hal tersebut akan mempertajam adanya ketidakpercayaan di antara masyarakat dan juga kepada pemerintah. Pandangan yang berbeda dalam menyikapi situasi pandemi ini akan semakin memperparah situasi.
Pemerintah perlu melihat segala risiko yang terjadi terhadap dinamika kasus positif dan dinamika kesadaran kolektif masyarakat dalam menghadapi virus ini secara bersama, agar kebijakan yang digunakan menjadi tepat guna. Berikut Saya jelaskan empat kemungkinan yang terjadi serta kritik dan saran terhadap pemerintah. Dengan melihat resiko dan kemungkinan yang terjadi, maka pemerintah akan tahu apa yang bisa dikerjakan/dipengaruhi, mana yang tidak perlu dikerjakan/tidak bisa dipengaruhi.
Skenario A: Perang Bersama
Skenario A, @Nadyaaarw

Ketika kasus positif Covid-19 mengalami kenaikan dan kesadaran kolektif masyarakat tinggi dalam menghadapi virus ini, maka kondisi yang mungkin akan terjadi yaitu masyarakat saling membantu untuk bisa bertahan dan juga berupaya menghentikan penyebaran secara bersama-sama dengan menerapkan pembatasan fisik secara ketat. Kesadaran bersama sebagai satu identitas yang sama dalam melawan musuh bersama membuat masyarakat akan bekerjasama secara maksimal dan saling melengkapi. Pemerintah harusnya hadir untuk memfasilitasi perang melawan Covid-19 secara bersama dengan meningkatkan rasa solidaritas dan pengetahuan dalam menghadapi virus secara bersama. Ketidakpercayaan harus diperkecil dengan membangun keamanan dan resiko yang sama. Keseriusan pemerintah dalam menangani virus ini dari segi kesehatan juga sangat dibutuhkan guna mengatasi ancaman virus dan juga sebagai wujud pemimpin yang melindungi rakyatnya.
Skenario B: New Normal Dengan Syarat
Skenario B, @Nadyaaarw
New Normal kemungkinan akan terjadi ketika kasus positif semakin menurun dan kesadaran kolektif dalam melawan virus ini tinggi. Menurunnya ancaman atau resiko tertular karena kasus semakin menurun akan membuat masyarakat berani untuk beradaptasi atau menjalankan kebiasaan awalnya. Masyarakat akan tetap berupaya waspada agar tidak terjadi penularan lagi. Namun, pemerintah perlu memberikan prosedur kesehatan yang jelas.
Skenario C: Bencana Sosial 
Skenario C, @Nadyaaarw
Jika kasus positif semakin naik dan masyarakat tidak memiliki kesadaran kolektif untuk melawan virus ini, maka ditakutkan masyarakat mengambil keputusan sendiri. Ancaman yang semakin tinggi, membuat masyarakat dengan kepercayaan rendah terhadap sekitarnya menjadi lebih memikirkan diri sendiri untuk selamat.  Ketika situasi tersebut terjadi, maka ketidakaturan dan kekacuan ditakutkan akan terjadi. Karena terjadi benturan antara mereka yang berjuang melawan dan yang tidak peduli. Artinya, banyak aturan/nilai yang disepakati bersama menjadi tidak berfungsi karena harus menyelamatkan diri sendiri.
Skenario D:  Kondisi Terserah
Skenario D, @Nadyaaarw
Menurunnya kasus positif bisa terjadi karena dipengaruhi dan juga tidak dipengaruhi variabel “usaha manusia”. Jika kesadaran kolektif masyarakat rendah, kemungkinan yang terjadi adalah kasus turun karena faktor eksternal atau di luar kendali manusia. Seperti misalnya perbincangan soal kemungkinan pelambatan saat musim panas/suhu panas, atau faktor eksternal (di luar usaha manusia).
Efeknya adalah ketika ancaman semakin rendah dan masyarakat masih tidak memiliki kesadaran kolektif untuk melawan virus sampai tuntas maka kemungkinan masyarakat tidak peduli dan tetap melakukan aktivitas biasa. Bahaya atau efek negatifnya yaitu ketika ada gelombang kedua yang tiba-tiba terjadi. Kemungkinan yang terjadi, masyarakat dan pemerintah tidak siap.
Kritik dan Saran Penulis
Jika pemerintah mengatakan masyarakat harus beradaptasi dengan normal yang baru  padahal kasus masih tinggi dan kesadaran kolektif rendah, maka ditakutkan masyarakat akan chaos seperti skenario C. Banyaknya masyarakat yang melawan aturan soal PSBB akan menjadi benih kekacauan besar jika tidak segera diatasi. Pemerintah harus segera mengambil langkah untuk membangun kepercayaan dan upaya penurunan kasus. Secara lebih praktis, pemerintah harus mampu membangun  kepercayaan bahwa negara akan melindungi dan akan segara mengatasi. Selain itu, arahan untuk bekerjasama dalam mengatasi virus dan keterbukaan informasi dalam menghadapi virus juga sangat diperlukan. Lebih penting, tindakan nyata harus sesuai dengan apa yang dijanjikan. Hal yang perlu diingat bahwa pandemi ini bukan hanya masalah kesehatan tapi juga sosial dan ekonomi. Meski begitu, keselamatan rakyat haruslah menjadi prioritas utama dibandingkan ekonomi.
Penulis: Oktavimega Yoga Guntaradewa // IG:@yogantarawa
Ilustrator: Nadya Aristyawati // IG:@nadyaaarw




Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Gambar dari Google

Pandemi memaksa seluruh orang untuk melakukan aktivitas di dalam rumah. Begitu pula kegiatan belajar dari rumah atau study from home yang merupakan kebijakan efektif guna mengurangi penyebaran wabah Covid-19 di Indonesia. Namun, bagi sebagian orang hal tersebut merepotkan, karena kurangnya fasilitas dan banyaknya gangguan yang ada. Hal ini dirasakan oleh berbagai pelajar di Indonesia, mereka mengeluh mengenai kurangnya media teknologi yang memadai dan belum adanya bantuan untuk menyelesaikan masalah kegiatan belajar via daring. Kegiatan tersebut juga dirasakan oleh sebagian orang tua yang kurang paham dalam mengoperasikan teknologi. Seperti bagaimana mengaktifkan akun di sebuah aplikasi pembelajaran atau bahkan hal kecil seperti bagaimana mengirim laporan berupa foto kepada guru yang mengajarkan anaknya.
Realitas tersebut menunjukkan bahwa pendidikan kita belum siap menerima manfaat positif dari teknologi. Padahal ke depan teknologi akan semakin dibutuhkan pada setiap kegiatan, baik yang mendesak maupun yang tidak mendesak. Selain itu, teknologi akan semakin maju. Pertanyaannya, siapkah kita untuk mengikuti perkembangan teknologi? Menghitung bahwa banyak sekali pelajar di Indonesia yang mengalami keterbatasan akses teknologi di daerahnya, serta adanya stigma masyarakat yang menganggap teknologi selalu memberikan dampak negatif bagi siapapun yang menggunakannya.
Setidaknya ada dua permasalahan besar yang menghambat perkembangan teknologi di Indonesia yaitu kultur dan fasilitas. Pertama terkait kultur, banyak orang tua generasi baby boomers (55-73 tahun) yang memiliki stigma negatif terhadap pendidikan. Selain itu mereka juga dapat dikatakan gagap teknologi. Hal tersebut terjadi karena mereka malas belajar dan sulit terbuka pada hal baru termasuk teknologi. Ada satu hal lagi yang membuat orang tua tidak terlalu terbuka, yaitu melihat anak yang kecanduan gawai dan terus-terusan bermain game online. Biasanya orang tua yang melihat realitas tersebut langsung menyalahkan bendanya bukan subjeknya, padahal gawai adalah materi yang dapat berfungsi ketika ada yang menggunakannya. Penilaian negatif dari realitas tersebut kemudian menjadi cap yang digunakan untuk menilai hal lain. Akhirnya, banyak orang tua yang melarang anaknya menggunakan gawai atau bermain internet. Dampaknya anak menjadi kesusahan dan orang tua pun ikut kewalahan.
Bukan hanya orang tua, beberapa guru atau pihak sekolah juga biasanya memiliki stigma yang sama terkait dengan teknologi. Masih banyak guru yang menggunakan cara lama dalam mengajar, ketimbang memanfaatkan teknologi terkini dalam pengajaran. Inisiatif untuk meningkatkan keahlian dan kebijaksanaan siswa dalam menggunakan teknologi pun terbentur oleh stigma negatif terhadap teknologi. Stigma negatif tersebut kemudian berpengaruh pada pengadaan fasilitas, banyak siswa yang tidak diberikan hak untuk belajar menggunakan gawai, laptop, dan internet. Dampaknya saat masa pandemi ini, pendidikan seperti tidak memiliki arah yang jelas.
Ketika masa pandemi, guru dipaksa untuk mengikuti keadaan dan memberikan materi dari rumah. Namun dalam realitasnya, pemahaman belajar dari rumah oleh guru masih kurang tepat. Sebagian guru memaknai belajar dari rumah hanya memindahkan sekolah ke rumah. Padahal konteks belajar antara sekolah dan rumah berbeda jauh. Jika persiapan tidak matang dan hanya mengandalkan materi yang diajarkan tanpa metode khusus, maka yang terjadi adalah kurangnya pemahaman dan kegiatan belajar mengajar menjadi chaos.
Orang tua dan guru seharusnya sadar untuk terus mengontrol aktivitas anak dalam penggunaan teknologi, bukan hanya melarang dan memberikan stigma pada gawai sebagai benda yang berdampak negatif. Jika orang tua dan guru mampu melihat sisi positif dari adanya teknologi, maka anak dapat beradaptasi dan berkembang baik secara pemikiran dan perilaku. Disitulah sebenarnya peran orang tua dalam perkembangan anak dan guru dalam pembelajaran di sekolah. Maka dari itu kerjasama antar pihak merupakan hal yang paling penting untuk dilakukan.
Peran pemerintah menjadi penting dalam membuat kebijakan yang mendukung anak untuk menguasai teknologi. Pemerintah harus segera membuat rencana jangka panjang yang berkelanjutan, serta terbuka terhadap apapun. Selain itu pemerataan fasilitas teknologi pembelajaran kepada seluruh pelajar di Indonesia juga penting. Jadi fasilitas bukan hanya berpusat pada kota, tapi juga di daerah-daerah. Banyak daerah yang belum memiliki fasilitas dasar hidup misalnya listrik. Penyamarataan hak pendidikan perlu segera dituntaskan agar upaya meningkatkan kualitas jauh lebih mudah.
Perubahan kultur dalam melihat teknologi juga perlu dilakukan oleh orang tua dan guru. Orang tua harus mampu berperan aktif untuk menghadapi hal tersebut, bukan lagi memberikan stigma pemalas kepada anak ketika bermain gawai, tetapi berusaha untuk bersahabat dan melihat hal positif dari apa yang dilakukan anak. Peran aktif guru atau pengajar juga harus diperhatikan, mengingat guru adalah garda terdepan dalam pendidikan. Tugas guru bisa jadi merupakan tugas yang berat, karena harus memahami siswa dengan baik, menggunakan metode yang sesuai dengan konteks, dan memberikan materi tanpa harus menggunakan metode DDCH (duduk, dengar, catat, dan hafal). Dalam hal ini, guru mau tidak mau harus mempelajari dan mengoperasikan teknologi demi kelancaran pembelajaran. Guru pun dituntut harus kreatif, semisal melakukan pembelajaran dengan observasi, kemampuan analisa tulisan, mengasah kreativitas lewat seni digital, pemberian projek kecil mengenai lingkungan dari rumah, atau pembelajaran lain tanpa harus keluar rumah dan tatap muka dengan guru yang bersangkutan.
Saat ini, kita tidak bisa menghentikan cepatnya perkembangan teknologi. Teknologi akan selalu berkembang sesuai dengan kebutuhan manusia yang semakin kompleks. Hal yang dapat kita lakukan adalah mengikuti perkembangan. Dari pandemi ini, seharusnya aktor-aktor dalam pendidikan sadar bahwa ke depan teknologi akan sangat dibutuhkan. Kewajiban pemerintah, guru, dan orang tua adalah memenuhi hak anak untuk bisa mengikuti perkembangan teknologi tersebut. Karena fungsi pendidikan adalah mempersiapkan murid agar mampu beradaptasi dengan lingkungan. Memiliki kemampuan yang tinggi  dalam memanfaatkan teknologi yang ada adalah hal yang berguna untuk perubahan diri menjadi lebih baik dan melakukan hal yang bermanfaat untuk manusia di sekitarnya.
Penulis: Nadya Aristyawati dan Oktavimega Yoga Guntaradewa
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Gambar di ambil dari Google
Sudah hampir dua bulan virus Covid-19 mengganggu ketentraman masyarakat Indonesia. Bukan hanya mengganggu kesehatan dan perekonomian, pandemi ini juga mengganggu sistem pendidikan di Indonesia. Perayaan hari pendidikan 2 Mei 2020 akan menjadi sejarah di mana pendidikan Indonesia dibuat berantakan. Bagaimana tidak, seluruh sekolah ditutup, semua murid dipaksa belajar daring (online) atau daring, UN dibatalkan lebih cepat, anggaran dana pendidikan dipotong seperti tunjangan profesi guru, dana BOS, selain itu jadwal akademis sekolah yang belum jelas, pendaftaran masuk kuliah yang masih ditunda dan perayaan upacara hari pendidikan 2 Mei 2020 juga ditiadakan. Seperti kata Yuval Noah Harari dalam tulisan Dunia Paska Virus Corona mengatakan bahwa keputusan yang pada masa normal bisa memakan waktu bertahun-tahun bisa jadi disahkan dalam hitungan jam. Mau tidak mau, pemerintah harus segera bertindak atas situasi ini. Meski begitu, kita harus tetap kawal bersama.
Permasalahan yang paling disoroti yaitu bagaimana proses pembelajaran saat pandemi ini. Kini, semua pembelajaran di sekolah atau kampus dipaksa harus serba daring. UNESCO sendiri merekomendasikan penggunaan program pembelajaran jarak jauh dan membuka aplikasi dan platform pendidikan agar mempermudah akses pembelajaran di rumah. Semua murid diminta untuk melakukan karantina mandiri bersama keluarga agar mampu mengurangi penyebaran Covid-19. Pembatasan fisik memang menjadi hal yang paling utama dalam memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Meski begitu, solusi tersebut hanya mampu menyelesaikan permasalahan kesehatan. Dampak lain dari solusi tersebut yaitu sulitnya akses pembelajaran akibat tidak ada atau kurangnya fasilitas untuk belajar daring seperti laptop, HP, internet. Meskipun ada gratis internet dan akses kelas daring di aplikasi belajar, tetap saja tidak semua memiliki fasilitas untuk mengakses internet tersebut. Permasalahan tersebut bukan hanya untuk murid, guru juga memiliki kesulitan terkait belajar daring. Selain perkara fasilitas, guru memiliki kesulitan dalam mengkoordinasi belajar daring karena tidak semua murid mampu melakukan hal tersebut.
Pandemi ini sebenarnya memperlihatkan kesenjangan kelas yang sangat tinggi dan berpengaruh pada pendidikan. Kementerian pendidikan pun mencoba menyelesaikan permasalahan tersebut dengan menggandeng TVRI Nasional, guna memberikan tayangan belajar agar murid dapat belajar melalui TV. Solusi tersebut diharapkan mampu merangkul banyak kelas bawah untuk bisa mendapatkan haknya. Sungguh tantangan luar bisa bagi pemerintah dan aktivis pendidikan untuk mampu menyelesaikan secara bersama masalah pendidikan yang diakibatkan pandemi ini.
Pengembangan Masyarakat Desa di Revolusi Industri 4.0
Read more
Permasalahan belajar dari rumah sebenarnya bukan hanya dari permasalahan fasilitas, tapi juga timbul permasalahan lain seperti permasalahan pemaknaan belajar di rumah dan pengkondisian suasana belajar yang nyaman. Belajar di rumah, bagi para guru hanya dimaknai sebagai pemberian tugas menumpuk tanpa ada upaya untuk memberikan pemahaman materi untuk muridnya atau hanya memindahkan pembalajaran dalam kelas daring. Padahal kegiatan belajar di rumah dapat dilakukan dengan berbagai cara termasuk pemanfaatan teknologi, apapun itu termasuk teknologi komunikasi.
Tidak semua murid memiliki kondisi yang nyaman dalam belajar. Entah apakah mereka mempunyai rumah yang sempit, harus membantu orang tua bekerja atau mengurus rumah, keluarga yang tidak suportif, masalah keluarga, tidak terbiasa belajar di rumah, atau suasana belajar yang rusak akibat terlalu sering dirumah. Hal tersebut merupakan permasalahan psikologi dan sosial murid atau pun guru yang juga rumit.
Pandemi ini memang bencana yang kita semua perlu maklumi terkait susahnya belajar pada situasi ini. Meski begitu, solusi juga perlu dipikirkan mengingat belum jelasnya  kapan Covid-19 berakhir. Artinya perlu alternatif solusi untuk skenario normal baru jika pandemi ini masih terjadi. Jika tidak, maka hak belajar murid jadi terganggu dan keluaran pendidikan selama pandemi juga akan membeku. Solusi yang dibutuhkan mungkin solusi yang cepat dan tegas, agar mampu segera beradaptasi dengan situasi ini.
Jika memang pembatasan fisik masih diperlukan dan semua hal terkait dengan pendidikan serba daring, maka kegiatan daring selama ini perlu diperbaiki dan juga harus ada alternatif lain bagi yang memang kesulitan terkait pembelajaran melalui daring. Pendidikan serba daring bukan berarti hanya sekadar dipindah, tapi bagaimana pendidikan dapat dilakukan secara optimal menggunakan teknologi komunikasi. Edukasi pembelajaran melalui daring untuk para guru, murid dan orang tua sangat diperlukan guna memberikan pengetahuan bagaimana pembelajaran melalui daring yang baik dan benar.
Perluasan akses pembelajaran juga diperlukan guna mengoptimalkan pembelajaran misalnya melalui TV. Alternatif lain seperti membentuk kelompok belajar kecil di lingkungan sekitar juga diperlukan bagi mereka yang kesulitan dengan fasilitas daring. Bantuan pendukung non-pendidikan juga perlu disiapkan seperti sembako, konseling kesehatan mental dan juga kesehatan jasmani. 
Terakhir, hal yang terpenting yaitu kerjasama yang baik antara pemerintah, sekolah, orang tua dan anak dalam bentuk kebijakan khusus untuk menghadapi pandemi ini. Apa yang terjadi saat ini juga dapat menjadi pembelajaran dalam dunia pendidikan kedepannya bahwa kemampuan adaptasi sangat penting dimiliki oleh seluruh elemen dalam bidang pendidikan, karena mungkin kita tidak pernah tahu bahaya di masa depan seperti apa.
Selamat Hari Pendidikan.
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Gambar diambil dari Google
Pembahasan yang terkait dengan kesehatan mental akhir-akhir ini menjadi ramai diperbincangkan banyak orang, terutama anak muda. Anak muda yang saya maksud adalah konsep kelompok demografi generasi Z yaitu yang lahir sekitar 1995 ke atas. Anak muda yang sekarang ini tengah menikmati ingar bingar sosial media seperti Instagram dan Twitter, mereka sering kali mengeluhkan atau bahkan memamerkan bagaimana kondisi mental mereka yang sedang tidak baik-baik saja. Bahkan ada fenomena self-diagnose terhadap kesehatan mental mereka sendiri, yang seharusnya dilakukan oleh ahlinya.
Bisa jadi, perbicangan yang begitu banyak di sosial media hanyalah fenomena obrolan biasa. Tapi nyatanya, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar yang dilakukan oleh kementrian kesehatan pada 2018, prevalensi orang gangguan mental jiwa berat (skizofrenia/psikosis) meningkat dari 0,15% menjadi 0,18%, sementara prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk usia 15 tahun kertas meningkat dari 6,1 % pada tahun 2013 menjadi 9,8% pada tahun 2018. Artinya kesehatan mental ini bukan hanya isu sosial, tapi juga fakta sosial tentang bagaimana kondisi kesehatan mental di Indonesia yang mulai buruk.
Waktu itu saya mencoba berdiskusi dengan beberapa teman untuk menjawab mengapa kesehatan mental di Indonesia semakin memburuk. Apa yang salah dari kesehatan mental di Indonesia yang katanya sebagai negara paling bahagia dan murah senyum. Hasil diskusi kami menyatakan jika kemungkinan karena pengaruh sosial media dan budaya di masyarakat. Dimulai dari budaya gender kita yang banyak berpengaruh pada kesehatan mental, misalnya budaya yang mengatakan jika laki-laki harus kuat, laki-laki tidak boleh menangis. Kemudian tambahannya, jika menangis nanti seperti cewek. Apa yang membuat itu menjadi penyebab? Yap, laki-laki selalu dikondisikan sebagai gender yang kuat dan perempuan dikondisikan sebagai gender yang lemah. Jadi, ketika laki-laki menangis itu aneh, perempuan kuat itu aneh. Padahal laki-laki juga memiliki perasaan atau emosi, dimana dia bisa melampiaskan emosi apapun itu termasuk sedih. Sedih, itu emosi yang wajar yang perlu dimiliki untuk menjaga kesehatan mental manusia.  Selain itu, jika amati banyak budaya lain yang menuntut masyarakat kita menjadi manusia-manusia bahagia tanpa boleh bersedih. Bener kan? Coba perhatikan nasehat-nasehat banyak orang ketika kalian sedih.
Budaya yang paling dominan kedua yaitu budaya kompetisi yang sebenarnya mengganggu banyak orang. Tapi karena terbiasa, jadinya malah kita sering diam dan menyetujui budaya itu semakin berkembang. Kita semua dituntut menjadi manusia yang sama, manusia yang bekerja keras untuk uang. Kita dituntut belajar dan bekerja untuk mendapatkan kekayaan, jabatan, hidup enak dll. Padahal kenyataannya setiap orang punya orientasi masa depan, kesukaan, uang, pandangan hidup yang berbeda. Apa yang baik menurut satu orang, belum tentu baik buat orang lain. Pada akhirnya kita dipaksa untuk saling berkompetisi dengan menjegal satu sama lain dan bertingkah individualis. Selain itu, kita dipaksa untuk jadi sama.
Budaya ini yang kemudian bukan hanya berjalan pada ranah offline atau kehidupan nyata, tapi juga marambat ke dunia maya/online. Kehadiran sosial media membuat budaya kompetisi dan ketimpangan gender semakin terlihat dan dinikmati banyak orang secara luas tanpa batasan. Sosial media menciptakan ruang dimana apapun yang membuat manusia terpicu depresi menjadi semakin terlihat jelas di mata. Inilah yang kemudian, membuat banyak orang merasa bahwa sosial media itu seperti racun yang membuat mereka semakin depresi. Coba liat teman sekitar kalian, pasti banyak yang mengatakan hal yang sama jika sosial media itu racun dan beberapa dari mereka bahkan sampai menghapus sosial medianya.  
Penjelasan tentang semakin meningkatnya penyakit mental yang diderita banyak anak muda sekarang, itu sebenarnya juga bisa dijelaskan dengan teori sosial yaitu teori bunuh dirinya Emile Durkheim. Karena salah satu dampak dari penyakit mental ini adalah tindakan bunuh diri. Ada 2 konsep yang bisa ditarik dari teorinya Durkheim, integrasi sosial dan juga struktur sosial. Ketidakmampuan anak muda dalam melakukan integrasi karena ketidakmampuan memfilter nilai dan norma yang masuk membuat mereka merasa terlalu superior ataupun inferior, itulah yang kemudian menciptakan depresi tersendiri. Kemudian juga struktur sosial yang tidak mampu memberikan kenyaman pada individu juga akan berpengaruh pada kondisi mental individu. Artinya jika ditarik kesimpulan, secara struktur, ada masalah budaya/nilai dan norma/struktur sosial di masyarakat yang perlu diperbaiki. Secara individual, kemampuan individu untuk memfilter atau mengelola hasil-hasil infiltrasi dari masyarakat juga perlu ditingkatkan.
Menurut Saya, Pendidikan merupakan langkah awal yang tepat untuk mencegah kesehatan anak muda sekarang agar tidak lebih buruk. Pendidikan kita selama ini sebenarnya sudah memiliki fasilitas yang cukup dengan adanya guru bimbingan konseling (BK) dan juga guru pendamping untuk anak yang berkebutuhan khusus. Pendidikan kita sekarang ini juga sudah didorong untuk melaksanakan sekolah inklusi. Masalahnya, memang penerapannya masih belum maksimal. Jika kita liat tugas guru BK masih banyak yang bertugas sebagai pemberi hukuman, bukan sebagai ahli konseling untuk anak.
Seharusnya peran pendidikan kita dalam kesehatan mental berperan besar dalam tindakan pencegahan. Tindakan pencegahan yang bisa dilakukan yaitu memberikan tentang pemahaman kesehatan mental itu sendiri, karena selama ini kesehatan mental juga dimaknai sempit yaitu hanya soal kegilaan saja. Selain itu yang lebih penting adalah menciptakan kemampuan filter pada murid untuk mampu berintegrasi dan melakukan upaya dekontruksi atas budaya-budaya ataupun nilai dan norma yang memicu depresi ataupun menyebabkan kesehatan mental masyarakat kita semakin memburuk. Misalnya penambahan materi atau mata pelajaran terkait kesehatan mental. Jika ada mata pelajaran kesehatan jasmani kenapa tidak ada pelajaran kesehatan rohani?. Kesehatan Rohani yang saya maksud bukan hanya soal agama, tapi soal pemahaman jiwa dengan lebih ilmiah. Jika pendidikan jasmani juga dipelajari secara keilmuan, kenapa tentang jiwa juga tidak dipelajari secara keilmuan. Jadi pelajaran soal rohani/jiwa bukan hanya soal keyakinan saja.

Selain itu, sebenarnya juga kesehatan mental bisa diselipkan di pelajaran apapun. Misalnya pelajaran menyanyi, jika selama ini semua lagu selalu mengarah pada kebahagiaan, kenapa tidak menciptakan lagu yang memiliki emosi yang seimbang. Sehingga murid mengenal emosi sedih, marah, kecewa. Selain itu, mereka juga mengenal cara menanganinya. 
Pendidikan kita juga perlu menciptakan wadah/ekosistem yang tepat agar murid mampu beradaptasi dengan baik untuk bisa terjun ke masyarakat yang sebenarnya. Selain itu, mereka juga punya gambaran tentang bagaimana struktur yang sehat untuk kesehatan jiwa mereka.

Tindakan penanganan juga perlu dilakukan bagi murid yang sedang sakit. BK harus menjadi pertolongan pertama yang baik bagi murid. Jangan sampai sekolah juga ikut andil dalam mereproduksi stigma tentang kesehatan mental.  Sebenarnya, jika pendidikan kita sudah mulai sadar akan fenomena yang sedang berkembang yaitu kesehatan mental. Maka ke depan, obrolan mengenai kesehatan mental akan berkembang menjadi lebih konstruktif dan secara mental kita juga semakin membaik.
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar

Arah pendidikan Indonesia saat ini akan diarahkan pada pemenuhan peningkatan ekonomi. Jokowi sendiri menyatakan jika pendidikan harus diselaraskan dengan kebutuhan pasar. Penunjukan Nadiem mantan CEO dan juga pendiri Go-Jek sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan, juga menguatkan dugaan bahwa pendidikan kita memang akan dibawa pada apa yang menjadi keahlian dari Nadiem yaitu bisnis dan teknologi. Maka dari itu, saat pelantikan menteri Jokowi berpesan pada Nadiem jika Ia ingin terobosan besar terakit dengan sumber daya manusia agar siap kerja, siap berusaha dan link and match antara pendidikan dan industri. Jokowi  seperti berharap besar pada Nadiem agar mampu menjawab tantangan industri 4.0 melalui pendidikan.
Pandangan Jokowi tentang pendidikan seolah melihat bahwa pendidikan hanya untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi negara. Pandangan pendidikan seperti ini memang menjadi arus utama pendidikan di Indonesia. Bagi negara berkembang, peningkatan ekonomi memang menjadi utama. Jadi memang wajar jika arah pendidikan Indonesia hanya untuk peningkatan ekonomi. Bukan hanya pemerintah, pandangan masyarakat terkait pendidikan juga sama yaitu untuk peningkatan ekonomi keluarga dan juga ajang mobilitas status sosial-ekonomi.
Pandangan pendidikan yang hanya berfokus pada orientasi ekonomi akhirnya men-dekontruksi pendidikan dengan pandangan-pandangan ekonomi. Pada akhirnya pendidikan hanyalah menjadi sebuah pelatihan kerja, murid-murid menjadi calon tenaga kerja, dan sekolah-sekolah menjadi alat produksi. Sebenarnya dari ini semua apakah benar-benar murid diuntungkan? Negara diuntungkan? atau para pemilik modal yang diuntungkan?
Di Amerika, seorang peneliti pendidikan Michael Apple dalam bukunya Cultural Politic and Education (1996) menjelaskan bahwa pendidikan kapitalis di Amerika telah membawa semua sekolah dalam persaingan bebas layaknya dalam dunia bisnis. Kurikulum diganti menjadi yang lebih menjual, dalam arti bahwa sesuai dengan kebutuhan pasar. Murid-murid juga pada akhirnya dikompetisikan untuk mencari yang terbaik yang nantinya mampu mengisi ruang-ruang kerja dalam industri yang dimiliki pemodal. Hal yang sama akan terjadi di Indonesia jika pemerintah tidak mampu mengkontrol dampak dari kapitalisme global yang sekarang makin meluas melewati batas-batas negara.  
Sosiolog pendidikan Henry Giroux  dalam bukunya Neoliberalism’s War on Higher Education’ (2011) menuliskan jika dampak dari pendidikan yang hanya berfokus pada orientasi ekonomi akan menumpulkan nilai-nilai kritis. Kurikulum yang ada akan mematikan semangat melawan ketidakadilan dan semua saling berkompetisi demi kebutuhan pasar. Tidak ada lagi yang memperjuangkan “Public Good”, karena semua memperjuangkan dirinya masing-masing. Maka dari itu Henry mengatakan jika akan lahir nilai-nilai utilitarian individualisme. Lembaga-lembaga pendidikan akan menjadi lembaga-lembaga bisnis. Para guru, dosen siswa dan mahasiswa tidak akan masuk pada demokrasi untuk menyumbangkan ide-ide. Nilai kritis dan teoretikal analisis mereka akan tergantikan oleh kemampuan-kemampuan praktikal dan terapan saja.
Kondisi ekonomi Indonesia yang masih berkembang memang tidak bisa dihindarkan, masih banyak keluarga yang tidak mampu mencukupi kebutuhan dasar. Harapan pemerintah akan pendidikan mungkin akan selaras dengan keinginan masyarakat. Tapi, jangan sampai tidak ada kontrol dan ikut hanyut dalam derasnya arus kapitalisme yang melunturkan nilai-nilai yang baik di Indonesia. Jika dulu semua orang saling bantu untuk hidup, sekarang semua orang mengejar mimpi masing-masing tanpa melihat yang lain. Bukan hanya itu, kita dengan bangga menindas mereka yang tak punya apa-apa.
Ketika semua masalah sudah sangat kompleks dan kita hanya mengikuti arus, maka jalan keluar dari segala ketidakmanusiaan ini adalah kritis terhadap apa yang sedang terjadi. Kita semua tahu bahwa pendidikan kita selama ini telah me-dehumanisasi. Tapi kita bisa apa? tak peduli. Kenapa? Karena kita juga adalah produk-produk pendidikan yang mematikan rasa manusia itu. Menurut Paulo Freire ini yang disebut sebagai kesadaran magis dan naif. Maka harusnya pendidikan kita membentuk kesadaran kritis sebagai sebuah tujuan utama dalam pendidikan yang memanusiakan manusia.
Pendidikan Kritis Sebagai Alternatif
Bagi Saya, hal terpenting dari apa yang diamanatkan presiden dan juga banyak pandangan masyarakat mengenai pendidikan adalah dihidupkannya nilai-nilai kritis dalam pendidikan di Indonesia. Ki Hajar Dewantara Bapak Pendidikan Indonesia sejak dulu sudah mengatakan jika pendidikan haruslah menjadi alat yang memerdekakan siswa. Pandangan Ki Hajar Dewantara terkait pendidikan yaitu mampu memanusiakan manusia, bukan mampu memanfaatkan manusia.
Sebenarnya saya sedikit pesimis melihat pendidikan kritis sebagai alternatif di Indonesia, jika melihat pandangan pemerintah dan masyarakat yang masih sama tentang pendidikan yang hanya sebagai alat untuk memperkaya. Tapi beberapa kebijakan Nadiem menteri pendidikan dan kebudayaan yang baru cukup memberi harapan jika nantinya pendidikan kritis bukan hanya sebagai alternatif tapi juga yang utama. Konsep “merdeka belajar” yang digagas dan beberapa pernyataannya dalam beberapa pidato menyatakan jika Ia ingin menumbuhkan nilai kritis dan juga meningkatkan kreativitas siswa.
Masalahnya adalah apakah kemudian gagasan yang disampaikan akan terimplementasikan sampai akar rumput?
Tandingan atau Ketidakmungkinan
Seorang pendidik Theodore Sizer dalam tulisannya “Social Work” menyatakan jika di pendidikan Amerika yang memiliki arus utama pendidikan konservatif telah meniadakan alternatif pendidikan lain karena begitu represifnya pemerintah dalam mengisolasi pendidikan. Jika berkaca dengan Indonesia, pendidikan alternatif memang masih berkembang. Terlihat dari masih adanya sekolah alam yang berkembang ataupun kurikulum internasional yang masih berkembang.
Saya tidak melihat pendidikan alternatif sebagai tandingan karena sekolah-sekolah dengan pendidikan alternatif memiliki “penggemar” atau “pengikut”nya sendiri. Saya juga percaya bahwa pendidikan alternatif bukanlah sebuah ketidakmungkinan karena pada akhirnya saya percaya bahwa mereka akan kembali mencari jati diri mereka sendiri sebagai manusia secara alami. Bahkan jika tak harus menunggu, banyak orang yang akan memperjuangkan. Masalahnya memang pada saat ini banyak yang gagal dalam memperjuangkan pendidikan kritis karena tidak “praktikal” dalam upaya mengimplementasikan gagasan. Henry Giroux seorang sosiolog pendidikan sebenarnya juga menyarankan pada setiap pendidik radikal untuk melihat realitas dan tidak melulu memaksakan pandangan dengan hanya misalnya melihat struktur dominasi hanya dari ekonomi. Padahal, ada elemen perubahan lain yaitu hati nurani, persuasi dan identitas generasi. Giroux memang fokus pada cara-cara praktikal dalam memperjuangkan pendidikan kritis yang radikal. Radikal dalam arti menyeluruh.
Pendidikan kritis harus melihat realitas lapangan sebagai negara berkembang yang tak lepas dari kebutuhan ekonomi. Jalur perjuangannya harus dengan tidak memaksakan pandangan. Jika masih ingin ada dan hidup berkembang.
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Gambar diambil dari @yogantarawa

Bagi Saya yang sedari lahir tinggal di Surabaya, menginjakkan kaki di Jogja merupakan pengalaman yang menarik sekaligus aneh. Pasalnya, beberapa budaya Jogja sangat berbeda dengan Surabaya, padahal masih satu Jawa. Pikirku dulu sebelum merantau, perbedaan budayanya tidak terlalu drastis. Karena Saya sering jalan-jalan di kota-kota mataraman Jawa Timur, katanya masih mirip-mirip sama Jawa Tengah dan Yogyakarta. Eh ternyata keduanya jauh sangat berbeda. Beberapa perbedaanya ada yang membuat Saya mudah beradaptasi. Tapi beberapa perbedaanya juga ada membuat Saya kesulitan untuk beradaptasi.
Perbedaan yang cukup mencolok dan membuat Saya jadi agak kebingungan yaitu perbedaan bahasa. Bahasa Jogja dan Surabaya memang sama-sama bahasa Jawa. Tapi, Keduanya tak sama. Surabaya menggunakan bahasa Jawa dengan dialek Arekan yang lebih keras. Sedangkan, Jogja menggunakan bahasa Jawa yang lebih halus. Saya tahu bahwa akan berbeda, tapi Saya tidak menduga jika rasanya akan sangat terasa. Misalnya saja soal perbedaan intonasi bicara. Di Surabaya, Saya sering mendengar orang dengan nada membentak atau seperti orang teriak. Di Jogja semua orang intonasinya sangat halus dan lembut. Bahkan ketika mereka sudah bilang “nggih Mas”, Saya berasa di suasana kerajaan-kerajaan tempo dulu. Bukannya Saya berlebihan, tapi memang Saya jarang mendengar nada-nada atau pilihan kata yang halus di Surabaya. Rasanya seperti dimanjakan dan disayang, maap ini alay.
Bukan berarti budaya dari bicaranya masyarakat Surabaya buruk atau salah, tapi memang ya itu ciri dan memang mengandung makna sosiologisnya. Saya juga kalau di Surabaya juga sukanya teriak-teriak saat berbicara. Dalam penggunaan bahasa Jawa, Surabaya memang ya termasuk pada tingkatan yang kasar. Meskipun Saya pendiam, ketika Saya di Surabaya maka gaya bicara Saya akan mengikuti. Begitu pun saat di Jogja, suasana pembicaraan yang lembut membuat Saya juga ikut-ikutan berbicara dengan nada dan pilihan kata yang lebih halus. Namun, memang kadang kita tidak bisa menyimpulkan jika semua orang Jogja itu semuanya ngomongnya halus. Beberapa teman Saya di Jogja juga ada yang cara ngomongnya seperti orang Surabaya. Tapi memang, jika boleh diratakan memang masyarakat Jogja memiliki intonasi dan penggunaan kata yang sangaaaaaaaaaaaat hualus pol (sangat halus).
Perbedaan bahasa membuat Saya juga perlu hati-hati dalam menggunakannya, Saya perlu mengikuti beberapa aturan main penggunaan bahasa di Jogja. Seperti kata pepatah “dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”. Di Jogja, Saya berusaha untuk tidak mengatakan kata ajaib Surabaya (Jan***) untuk menunjukan bentuk kedekatan ataupun persaudaraan. Karena, mungkin mereka akan menilainya berbeda. Untungnya, lidah Saya sudah otomatis tidak menggunakan kata ajaib Surabaya saat berbicara. Saya kira, kata ajaib Saya akan hilang di Jogja. Ternyata, saat Saya balik ke Surabaya kata ajaib tersebut muncul lagi dan lebih sering. Aku menduga karena kangen.
Selain soal intonasi, beberapa kata juga berbeda. Perbedaan kata itu juga sangat membingungkan dan sedikit mengganggu. Saat Saya bilang “Aku wes mari” yang artinya Saya sudah selesai mengerjakan/menyelesaikan sesuatu, banyak orang Jogja malah mengira artinya Saya sudah selesai dari sakit. Kata tersebut sering membuat komunikasi jadi membingungkan. Selain itu, banyak orang Jogja yang menertawai Saya saat bilang “mari” dalam pernyataan yang tidak tepat. Kelucuan juga terjadi saat mereka selalu mengakhiri kata tanya dengan kata “Po”, kalau di Surabaya selalu di akhiri kata “Ta”. Itu sering kali membuat Saya tertawa sendiri. Perbedaan memang begitu membahagiakan. Entah kenapa banyak orang yang suka anti perbedaan.
Perbedaan yang bikin Saya kesulitan beradaptasi adalah soal makanan. Susah sekali menemukan makanan yang pedas di Jogja. Kebanyakan makanan di Jogja memiliki rasa manis. Bukan hanya gudeg, tapi juga soto, mie goreng, sate. Ya kalau mau cari yang pedes sebenarnya juga ada seperti sambel mercon yang isinya kikil sapi dibumbu pedas. Tapi memang makanan yang manis lebih banyak. Makanya Saya sedikit kesusahan saat di awal soal makanan, lama-lama ya suka-suka saja.  Mungkin terpaksa lebih tepatnya. Oh iya, karena banyak makanan manis, jokes klasik yang sering ditemui yaitu “soalnya orang Jogja manis-manis”. Tapi jokes itu tidak pernah gagal apalagi kalau dibuat gombal ke pasangan asli Jogja. Coba saja, semoga tidak jadi garing ya.
Sebenarnya ada juga perbedaan yang bikin Saya juga jadi cepat beradaptasi di Jogja. Pertama, pengguna jalan yang lebih tertib dibanding di Surabaya. Hal yang paling jelas juga Saya jarang menemukan orang yang bentak-bentak di jalanan. Hal tersebut cukup membuat Saya nyaman berkendara di Yogyakarta. Apalagi Jogja memiliki jalanan yang renggang dan jalanan yang tidak seluas Surabaya. Tapi memang Malioboro menjadi jalanan paling macet se–Jogja. Hadeh. Ya memang karena di Malioboro adalah tempat yang enak buat pejalan kaki, bukan pengendara mobil atau motor.
Perbedaan selanjutnya yaitu soal atmosfer Jogja yang lebih tenang. Wajar memang jika banyak orang yang memilih Jogja sebagai destinasi liburan. Di setiap sudut Jogja bakal membuat kita merasa tenang dan santuy. Suasana “edgy” seperti menikmati kopi kala senja di sebuah kafe yang instagramable juga menambah nikmat buram di Jogja. Selain akan tenang, followers IG kalian juga akan iri dengan imajinasi mereka tentangmu. Bahwa kamu telah menemukan ketenangan di Jogja. Tapi tanya dulu harga kopinya ya, soalnya biasanya mahal. Bukannya tenang menikmati kopi malah pusing besok makan apa, sangking mahalnya. Sebenarnya ya nggak mahal ya, tapi kalau lihat UMR Jogja sepertinya agak aneh aja gitu.  
Meskipun Saya kadang heran dengan perbedaan UMR yang sangat jauh antara di Surabaya dan Jogja. Tapi mereka tetap bisa hidup santuy dan bahagia menikmati hidup. Itulah yang Saya pelajari di Jogja. Jogja yang katanya memiliki sejuta kenangan juga ternyata telah membiusku untuk jatuh cinta dengan segala perbedaan di Surabaya. Meski banyak budaya yang berbeda dan meski awalnya mengalami gegar budaya yang cukup sulit, Jogja memang tetap luar biasa bikin irit.
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Older Posts

About Me

Yoga Dewa

(Sociologist)

Focus on Community Development, Education, New Social Movement

Instagram: @Yogantarawa

Labels

  • CERPEN
  • MY ART
  • OPINI
  • Puisi
  • REKOMENDASI
  • TIPS AND TRICK

recent posts

Sponsor

Flag Counter

Blog Archive

  • ▼  2023 (1)
    • ▼  October (1)
      • Buku Pertama (MENGENAL GERAKAN MENGAJAR)
  • ►  2020 (6)
    • ►  May (3)
    • ►  February (1)
    • ►  January (2)
  • ►  2019 (22)
    • ►  December (1)
    • ►  September (6)
    • ►  August (4)
    • ►  June (1)
    • ►  May (1)
    • ►  March (3)
    • ►  February (5)
    • ►  January (1)
  • ►  2018 (4)
    • ►  December (1)
    • ►  February (2)
    • ►  January (1)
  • ►  2017 (16)
    • ►  November (1)
    • ►  October (4)
    • ►  September (1)
    • ►  July (2)
    • ►  May (5)
    • ►  February (1)
    • ►  January (2)
  • ►  2016 (27)
    • ►  August (1)
    • ►  July (3)
    • ►  June (9)
    • ►  May (2)
    • ►  April (2)
    • ►  March (2)
    • ►  February (3)
    • ►  January (5)
  • ►  2015 (8)
    • ►  December (7)
    • ►  October (1)
  • ►  2014 (11)
    • ►  August (2)
    • ►  July (4)
    • ►  June (5)

Created with by BeautyTemplates| Distributed By Gooyaabi Templates