Kontruksi Moral Dan Akademik
KONSTRUKSI
MORAL DAN AKADEMIS PELAJAR
Seperti halnya rumah, agar tidak gampang
runtuh maka rumah diberi fondasi. Begitu juga dengan pendidikan akademis,
pendidkan moral juga penting dalam pembangunan pendidikan akademis. Namun kenyataannya di Indonesia pendidikan
akademis dan moral masih tidak seimbang. Contohnya yang pernah saya amati di
daerah pedesaan pantai Jolosutro di Blitar. Rata – rata moral anak – anak SD disana baik, namun rata - rata akademis
mereka kurang bagus. Hal ini berlawanan
dengan apa yang pernah saya amati di daerah perkotaan seperti Surabaya.
Akademis anak – anak SD di daerah perkotaan rata – rata bagus, namun moral
mereka rata – rata buruk.
Menurut Frans Magnis Suseno dalam
bukunya Etika Dasar: Masalah – Masalah Pokok Filsafat Moral (1979:15) Bidang
moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari kebaikannya sebagai manusia,
norma – norma moral adalah tolak ukur untuk menentukan betul – salahnya sikap
dan tindakan manusia dilihat dari segi baik – buruknya sebagai manusia bukan sebagai
pelaku peran tertentu dan terbatas. Anak indonesia haruslah mempunyai moral
yang tinggi agar akademis yang telah ajarkan baik bagi seluruh umat manusia.
Perlu adanya kontruksi moral dan akademis pelajar agar keduanya saling berjalan
dengan baik.
Revolusi mental yang dicanangkan
bapak Jokowi pada saat kampanye, membuat kita terhanyut dalam semboyan
tersebut. Seolah – olah revolusi mental adalah pemecah masalah baru yang mampu
menyelesaikan persoalan – persoalan bangsa. Indonesia memang sedang terlilit masalah
moral yang mendesak. Sehingga kata “revolusi” bukanlah hal yang berlebihan.
Namun dengan paradigma bahwa pendidikan akademis dan moral harus memiliki jatah
tersendiri dalam setiap jenjang pendidikan mulai dari SD sampai SMA, seperti
yang dicanangkan pak jokowi dalam pidatonya. Hal itu justru akan membuat
perubahan menyuluruh yang dicanangkan, akan menjadi percuma.
Dewasa
ini kita butuh pembelajaran yang kreatif, pembelajaran yang mampu membuat anak
– anak Indonesia adiktif dalam belajar. Sehingga mampu mendapatkan hasil yang
diharapkan dan mampu mensinambungkan antara pendidikan akademis dan pendidikan
moral. Kurangnya antusias dan sikap fatalis guru dan orang tua dalam pendidikan
moral dan akademis anak, membuat pembelajaran kreatif sulit dilakukan. Sosialisasi
yang kurang sempurna dari lingkungan serta perubahan budaya seperti penggunaan gadget (teknologi) yang berlebihan juga menyebabkan moral tidak
berjalaan bersamaan dengan akademis anak.
Pembelajaran Moral dan Akademis tidak
dapat diajarkan sendiri – sendiri. Dalam faktanya, anak akan sangat cepat bosan
dalam menerima pelajaran moral di kelas. Saat kuliah saja kita sering bosan
dalam pelajaran etika, pendidikan kewarganagaran, ataupun pancasila. Sehingga
kita kurang mendapatkan hasilnya dan terkadang kita akan cenderung mengejar
nilai dan berbuat curang. Lalu bagaimana dengan sistem pendidikan untuk anak
SD, jika pendidikan moral harus dijatah 80% dan pendidikan akademis 20%. Akan
seperti apa mereka saat kegiatan belajar mengajar dan apa saja yang dilakukan
guru untuk mengajarkan moral dengan jatah yang cukup besar itu. Bukankah sistem
pendidikan yang demikian akan semakin memperburuk sistem pendidikan yang sudah
ada.
Belajar harus mampu mengkonstruksi
pengetahuan itu sendiri. Bukan soal menghafal atau mendengarkan ceramah dari
guru, melainkan mampu memahami pengetahun dalam kehidupan keseharian dan mampu dipraktikan. Pendidikan
moral dan akademis tidak dapat dipisahkan dalam setiap pembelajarannya.
Keduanya harus dapat diajarkan dalam langkah yang bersamaan.
Contohnya ketika guru mengajarkan
matematika, guru harus mampu menyelipkan pendidikan moral ataupun pendidikan
karakter seperti kejujuran, kedisiplinan, kerja sama, dan lain – lain. Hal yang
demikian akan sangat membantu guru dalam penyampaian moral terhadap muridnya.
Dalam setiap pengajarannya, seorang guru maupun orang tua harus mempunyai
apersepsi dalam setiap pembelajaran akademis dan moral. Harapannya melalui
apersepsi atau jembatan, apa yang akan disampaikan seorang pengajar mampu sampai
pada tujuan pembelajaran.
Hasil terkadang kurang sesuai dengan
yang diharapkan. Dalam Undang – undang dasar 1945 pasal 31 ayat 4 amandemen
ke-4 yang berbunyi “Negara Memprioritaskan Anggaran Pendidikan yang sekurang –
kurangnya 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaran
pendidikan nasional”. Dana pendidikan 20% sejatinya mampu memfasilitasi
pendidikan di Indonesia dengan baik. Ironisnya, fasilitas – fasilitas
pendidikan hanya bertumpu pada daerah perkotaan.
Daerah pedesaan yang kurang
mendapatkan fasilitas – fasilitas pendidikan yang memadai menjadi dampak
pendidikan moral dan akademis tidak seimbang. Daerah perkotaaan pun juga
terkena dampaknya, teknologi yang canggih yang bertumpu pada daerah perkotaan
membuat masyarakat kota lebih terpengaruh globalisasi. Kurangnya filter
masyarakat kota membuat mereka terperosok dalam hal yang negatif yaitu krisis
moral. Hal yang demikian membuat pendidikan akademis anak kota semakin baik
namun pendidikan moralnya semakin buruk.
Penataan sistem pendidikan moral dan
akademis haruslah diperbaiki mulai dari cara pembelajarannya. Pembelajaran
pendidikan moral dan akademis haruslah bersamaan dan saling berkaitan. Agar
tercapainya tujuan tersebut maka diperlukan pembelajaran kreatif, disertai pula
pengajar – pengajar yang kreatif. Guru, orang tua, maupun lingkungan masyarakat
harus mampu bekerja sama berfikir kreatif untuk mendidik anak. Pemerintah
sebagai fasilitator antara pengajar dan murid harus mampu memperbaiki sistem.
Dana pendidikan haruslah merata, sehingga semua mendapatkan fasilitas
pendidikan yang sama.
0 komentar