Kontruksi Moral Dan Akademik

by - 04:31

KONSTRUKSI MORAL DAN AKADEMIS PELAJAR

Seperti halnya rumah, agar tidak gampang runtuh maka rumah diberi fondasi. Begitu juga dengan pendidikan akademis, pendidkan moral juga penting dalam pembangunan pendidikan  akademis. Namun kenyataannya di Indonesia pendidikan akademis dan moral masih tidak seimbang. Contohnya yang pernah saya amati di daerah pedesaan pantai Jolosutro di Blitar. Rata – rata moral anak – anak SD  disana baik, namun rata - rata akademis mereka kurang bagus.  Hal ini berlawanan dengan apa yang pernah saya amati di daerah perkotaan seperti Surabaya. Akademis anak – anak SD di daerah perkotaan rata – rata bagus, namun moral mereka rata – rata buruk.

Menurut Frans Magnis Suseno dalam bukunya Etika Dasar: Masalah – Masalah Pokok Filsafat Moral (1979:15) Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari kebaikannya sebagai manusia, norma – norma moral adalah tolak ukur untuk menentukan betul – salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik – buruknya sebagai manusia bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas. Anak indonesia haruslah mempunyai moral yang tinggi agar akademis yang telah ajarkan baik bagi seluruh umat manusia. Perlu adanya kontruksi moral dan akademis pelajar agar keduanya saling berjalan dengan baik.

Revolusi mental yang dicanangkan bapak Jokowi pada saat kampanye, membuat kita terhanyut dalam semboyan tersebut. Seolah – olah revolusi mental adalah pemecah masalah baru yang mampu menyelesaikan persoalan – persoalan bangsa. Indonesia memang sedang terlilit masalah moral yang mendesak. Sehingga kata “revolusi” bukanlah hal yang berlebihan. Namun dengan paradigma bahwa pendidikan akademis dan moral harus memiliki jatah tersendiri dalam setiap jenjang pendidikan mulai dari SD sampai SMA, seperti yang dicanangkan pak jokowi dalam pidatonya. Hal itu justru akan membuat perubahan menyuluruh yang dicanangkan, akan menjadi percuma.

            Dewasa ini kita butuh pembelajaran yang kreatif, pembelajaran yang mampu membuat anak – anak Indonesia adiktif dalam belajar. Sehingga mampu mendapatkan hasil yang diharapkan dan mampu mensinambungkan antara pendidikan akademis dan pendidikan moral. Kurangnya antusias dan sikap fatalis guru dan orang tua dalam pendidikan moral dan akademis anak, membuat pembelajaran kreatif sulit dilakukan. Sosialisasi yang kurang sempurna dari lingkungan serta perubahan budaya seperti penggunaan gadget (teknologi)  yang berlebihan juga menyebabkan moral tidak berjalaan bersamaan dengan akademis anak.

Pembelajaran Moral dan Akademis tidak dapat diajarkan sendiri – sendiri. Dalam faktanya, anak akan sangat cepat bosan dalam menerima pelajaran moral di kelas. Saat kuliah saja kita sering bosan dalam pelajaran etika, pendidikan kewarganagaran, ataupun pancasila. Sehingga kita kurang mendapatkan hasilnya dan terkadang kita akan cenderung mengejar nilai dan berbuat curang. Lalu bagaimana dengan sistem pendidikan untuk anak SD, jika pendidikan moral harus dijatah 80% dan pendidikan akademis 20%. Akan seperti apa mereka saat kegiatan belajar mengajar dan apa saja yang dilakukan guru untuk mengajarkan moral dengan jatah yang cukup besar itu. Bukankah sistem pendidikan yang demikian akan semakin memperburuk sistem pendidikan yang sudah ada.

Belajar harus mampu mengkonstruksi pengetahuan itu sendiri. Bukan soal menghafal atau mendengarkan ceramah dari guru, melainkan mampu memahami pengetahun dalam kehidupan  keseharian dan mampu dipraktikan. Pendidikan moral dan akademis tidak dapat dipisahkan dalam setiap pembelajarannya. Keduanya harus dapat diajarkan dalam langkah yang bersamaan.

Contohnya ketika guru mengajarkan matematika, guru harus mampu menyelipkan pendidikan moral ataupun pendidikan karakter seperti kejujuran, kedisiplinan, kerja sama, dan lain – lain. Hal yang demikian akan sangat membantu guru dalam penyampaian moral terhadap muridnya. Dalam setiap pengajarannya, seorang guru maupun orang tua harus mempunyai apersepsi dalam setiap pembelajaran akademis dan moral. Harapannya melalui apersepsi atau jembatan, apa yang akan disampaikan seorang pengajar mampu sampai pada tujuan pembelajaran.

Hasil terkadang kurang sesuai dengan yang diharapkan. Dalam Undang – undang dasar 1945 pasal 31 ayat 4 amandemen ke-4 yang berbunyi “Negara Memprioritaskan Anggaran Pendidikan yang sekurang – kurangnya 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaran pendidikan nasional”. Dana pendidikan 20% sejatinya mampu memfasilitasi pendidikan di Indonesia dengan baik. Ironisnya, fasilitas – fasilitas pendidikan hanya bertumpu pada daerah perkotaan.

Daerah pedesaan yang kurang mendapatkan fasilitas – fasilitas pendidikan yang memadai menjadi dampak pendidikan moral dan akademis tidak seimbang. Daerah perkotaaan pun juga terkena dampaknya, teknologi yang canggih yang bertumpu pada daerah perkotaan membuat masyarakat kota lebih terpengaruh globalisasi. Kurangnya filter masyarakat kota membuat mereka terperosok dalam hal yang negatif yaitu krisis moral. Hal yang demikian membuat pendidikan akademis anak kota semakin baik namun pendidikan moralnya semakin buruk.


Penataan sistem pendidikan moral dan akademis haruslah diperbaiki mulai dari cara pembelajarannya. Pembelajaran pendidikan moral dan akademis haruslah bersamaan dan saling berkaitan. Agar tercapainya tujuan tersebut maka diperlukan pembelajaran kreatif, disertai pula pengajar – pengajar yang kreatif. Guru, orang tua, maupun lingkungan masyarakat harus mampu bekerja sama berfikir kreatif untuk mendidik anak. Pemerintah sebagai fasilitator antara pengajar dan murid harus mampu memperbaiki sistem. Dana pendidikan haruslah merata, sehingga semua mendapatkan fasilitas pendidikan yang sama. 

You May Also Like

0 komentar